Rabu, 28 Januari 2015

KONSEP HARTA DALAM FIQIH MUAMALAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan umat manusia, harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting. Sebab harta adalah salah satu bentuk perhiasan kehidupan dunia. Dengan harta, manusia dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari mulai dari yang primer, sekunder, bahkan tersier sekalipun. Oleh karena harta pula lah akan terjadi interaksi sosial atau hubungan horizontal (manusia). Sebab harta ini didapat setelah terjadi hubungan timbal balik antar manusia, atau biasa dikenal dengan kerja sama. Kerja sama dilakukan untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan, yaitu harta.
Tidak ada larangan dalam mencari harta baik konvensional maupun syariah, semua sama-sama menganjurkan kepada manusia untuk mencari harta. Harta bagi manusia merupakan dzat yang sangat berharga. Meskipun terkadang ada sekelompok orang yang tidak menganggap itu berharga karena mungkin mereka telah memiliki sesuatu yang lebih berharga. Singkatnya, penilaian terhadap harta dilakukan secara subyektif, tidak mengikat. Sebab tergantung siapa yang menilainya. Bagi orang miskin, sepeda motor merupakan harta yang paling berharga. Namun tidak bagi orang kaya. Orang kaya menganggap mobil mewah lah harta yang paling berharga. Itulah sebabnya mengapa penilaian terhadap harta dilakukan secara subyektif. Menyangkut sistem pembagian harta, dilihat dari subyek yang membaginya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu secara Islami dan konvensional. Dua hal tersebut memiliki kriteria yang berbeda-beda dalam membagi harta. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang konsep harta dalam fiqih muamalat.

B.       RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Apa itu harta dan bagaimana pandangan ulama terhadap terminologi harta?
2.         Bagaimana perspektif harta dalam fiqih muamalat?
3.         Bagaimana pembagian/pemilikan harta dan implikasi hukumnya?

C.      MANFAAT DAN TUJUAN
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah:
1.    Untuk mengetahui apa itu harta dan bagaimana pandangan ulama terhadap terminologi harta.
2.    Untuk mengetahui bagaimana perspektif harta dalam fiqih muamalat.
3.    Untuk mengetahui bagaimana pembagian/pemilikan harta dan implikasi hukumnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN HARTA DAN PANDANGAN ULAMA
Harta dalam bahasa Arab disebut al-maal, yang merupakan akar kata dari lafadz maala – yamiilu – mailan yang berarti condong, cenderung, dan miring.[1]
Dalam al-Muhith dan Lisan Arab, menjelaskan bahwa harta merupakan segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Dengan demikian unta, kambing, sapi, tanah, emas, perak, dan segala sesuatu yang disukai oleh manusia dan memiliki nilai (qimah), ialah harta kekayaan.
Ibnu Asyr mengatakan bahwa, “Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki”.
Sedangkan harta (al-maal), menurut Hanafiyah ialah sesuatu yang digandrungi oleh tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan.[2]
Maksud pendapat di atas, definisi harta pada dasarnya merupakan sesuatu yang bernilai dan dapat disimpan. Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat disimpan, tidak dapat dikatagorikan sebagai harta. Adapun manfaat termasuk dalam kategori sesuatu yang dapat dimiliki, ia tidak termasuk harta. Sebaliknya tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak mungkin dipunyai tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari. Begitu juga tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak dapat diambil manfaatnya, tetapi dapat dipunyai secara konkrit dimiliki, seperti segenggam tanah, setetes air, seekor lebah, sebutir beras dan sebagainya.
Dengan demikian, konsep harta menurut Imam Hanafi yaitu segala sesuatu yang memenuhi dua kriteria :
Pertama, sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya. Kedua, sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara konkrit (a’ayan) seperti tanah, barang-barang perlengkapan, ternak dan uang
Menurut jumhur ulama’ fiqh selain Hanafiyah mendefinisikan konsep harta sebagai adalah seagala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya.
Dari pengertian di atas, jumhur ulama’ memberikan pandangan bahwa manfaat termasuk harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan dzatnya. Intinya bahwa segala macam manfaat-manfaat atas sesuatu benda tersebut dapat dikuasai dengan menguasai tempat dan sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tentu akan melarang orang lain mempergunakan mobil itu tanpa izinnya.
Maksud manfaat menurut jumhur ulama’ dalam pembahasan ini adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak seperti mendiami rumah atau mengendarai kendaraan. Adapun hak, yang ditetapkan syara’ kepada seseorang secara khusus dari penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik, hak minum, dan lain lain. Akan tetapi terkadang tidak dikaitkan dengan harta, seperti hak mengasuh dan lain-lain.
Menurut Imam as-Suyuthi harta ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai jual yang akan terus ada, kecuali bila semua orang telah meninggalkannya. Jika baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang itu mungkin masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka.
Menurut ahli hukum positif, dengan berpegang pada konsep harta yang disampaikan Jumhur Ulama’ selain Hanafiyyah, mereka mendefinisikan bahwa benda dan manfaat-manfaat itu adalah kesatuan dalam katagori harta kekayaan, begitu juga hak-hak, seperti hak paten, hak mengarang, hak cipta dan sejenisnya.
Ibnu Najm mengatakan bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh ulama’-ulama’ Ushul Fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Dengan demikian tidak termasuk di dalamnya pemilikan semata-semata atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini, beliau menganalogikan konsep harta dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaiman al-Kasyf al-Kabir disebutkan bahwa zakat maupun waris hanya dapat terealisasi dengan menyerahkan benda (harta atau tirkah dalam hal waris) yang konkrit, dan tidak berlaku jika hanya kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai wujudnya.

B.       PERSPEKTIF HARTA DALAM FIQIH MUAMALAT
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga para ulama ushul fiqh memasukkan persoalan harta dalam salah satu adh-dharuriyat al-khamsah (lima keperluan pokok). Yang terdiri atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dalam ayat-ayat al-Qur’an, harta memiliki kedudukan antara lain:
1.         Harta sebagai amanah (titipan) dari allah SWT manusia hanyalah pemegang amanah untuk mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Sedangkan pemilik harta sebenarnya tetap pada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) hartanya mendapatkan pahala yang besar”. (QS. Al-Hadid : 7) 
2.         Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai dan menikmati. Firman Allah yang artinya: “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,perak,kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imron : 14)
3.         Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran islam ataukah tidak Allah berfirman yang artinya:“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan dan di sisi Allahlah pahala yang besar”. (QS. At-Taghabun : 15)
Islam tidak membatasi cara seseorang dalam mencari dan memperoleh harta selama yang demikian itu tetap diberlakukan dalam prinsip umum yang berlaku yaitu halal dan baik. Hal ini berarti Islam tidak melarang seseorang untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin, karena bagaimanapun yang menentukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah Allah SWT sendiri sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas. Di samping itu dalam pandangan Islam harta itu bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai keridhaan Allah.
Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk dimiliki oleh manusia bagi menunjang kehidupannya secara garis besar ada dua bentuk:[3]
Pertama, memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun. Cara seperti ini sering disebut dengan penguasaan harta bebas (ihrazu al-mubahat). Di samping itu juga harta bebas bisa diperoleh melalui berburu hewan, mengumpulkan kayu dan rerumputan di hutan rimba, dan menggali barang tambang yang berada diperut bumi selama belum ada pihak yang menguasinya, baik individu maupun negara.
Kedua, memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui suatu transaksi atau akad. Bentuk ini dipisahkan pada dua cara. Pertama peralihan harta berlangsung dengan sendirinya atau disebut juga ijbari yang siapapun tidak dapat merencanakan atau menolaknya seperti melalui warisan. Kedua peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya,, dengan arti atas kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiyari, baik melalui kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian maupun melalui kehendak dan perjanjian timbal balik antara dua atau beberapa pihak seperti jual beli.
Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaat harta tersebut. Fungsi harta sangat banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik, maupun kegunaan dalam hal yang jelek. Di antara sekian banyak fungsi harta antara lain sebagai berikut:[4]
1.    Untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk ibadah memerlukan alat-alat seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat, bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, shadaqah, hibbah dan yang lainnya.
2.         Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah.
3.   Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat. Bukhari meriwayatkan hadist yang artinya : Bukanlah orang yang baik, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan duniawi, sehingga seimbang diantara keduanya. Karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.
4.      Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya. Sesuai dengan QS. An-Nisa : 9 yang artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
5.     Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menurut ilmu tanpa modal akan tersa sulit, seperti sesorang tidak bisa kuliah di perguruan tinggi bila ia tidak memiliki biaya.
6.     Untuk memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan. Adanya orang kaya dan miskin sehingga antara pihak saling membutuhkan karena itu tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.
7.    Untuk menumbuhkan silahturrahim, karena adanya perbedaan dan keperluan sehingga terjadilah interaksi dan komunikasi silaturrahim dalam rangka saling mencukupi kebutuhan.

C.      PEMBAGIAN HARTA DAN IMPLIKASI HUKUMNYA
Harta terdiri dari beberapa bagian dan tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini sebagai berikut:
1.    Harta Mutaqawwin dan Ghair Mutaqawwin
a. Harta mutaqawwin ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’ yaitu semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Sebagai contoh: kerbau halal dimakan oleh umat muslim, tetapi kerbau tersebut disembelihnya tidak sah menurut syara’, misalnya dipukul, ditembak, dll.
b. Harta ghair mutaqawwin ialah sesuatu yang tidak boleh diambil menurut syara’ yaitu kebalikan dari harta mutaqawwin, yakni yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya, maupun cara penggunaannya. Contohnya: sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri termasuk ghair mutaqawwin karena memperolehya dengan cara yang haram.
Faedah Pembagian
1).   Sah dan Tidaknya Akad
Harta mutaqawwim sah dijadikan akad dalam berbagai aktivitas muamalah, seperti hibbah, pinjam meminjam, dll. Sedangkan harta ghair mutaqawwim tidak sah dijadikan akad dalam bermuamalah. Pendapat ini disampaikan oleh ulama Hanafiyah.
2).   Tanggungjawab Ketika Rusak
Jika seseorang merusak harta mutaqawwim, maka ia bertanggungjawab untuk menggantinya. Akan tetapi, jika merusak harta ghair mutaqawwim, ia tidak bertanggungjawab untuk menggantinya. Menurut ulama Hanafiyah, jika merusak ghair mutaqawwim, ia tetap bertanggungjawab, sebab harta tersebut dipandang mutaqawwim oleh nonmuslim. Selain Hanafiyah berpendapat bahwa, harta ghair mutaqawwim tetap dipandang mutaqawwim sebab umat nonmuslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam.[5]
2.    Harta Mitsli dan Harta Qimi
a. Harta mitsli ialah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain, tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Jadi, harta mitsli adalah harta yang ada imbangannya (persamaan). Seperti harta yang jenisnya diperoleh di pasar (secara persis).
b. Harta qimi ialah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya, karena tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan. Jadi, harta qimi adalah harta yang tidak ada imbangannya secara tepat. Seperti harta yang jenisnya sulit di dapatkan di pasar, bisa di peroleh tetapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.
3.    Harta Istihlak dan Harta Isti’mal
a. Harta istihlak ialah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya. Harta istihlak dibagi menjadi dua, ada yang istihlak haqiqi dan istihlak huquqi.
1).   Harta istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan. Misalnya, korek api bila dibakar, maka habislah harta yang berupa kayu itu.
2).   Harta huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada. Misanya uang yang digunakan untuk membayar hutang, dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuh, tetapi hanya pindah kepemiliknya.
b. Harta isti’mal ialah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap terpelihara. Harta isti’mal tidaklah habis sekali digunakan, tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya. Seperti kebun, tempat tidur, pakaian, sepatu, dll.
4.    Harta Manqul dan Harta Ghair Manqul
a. Harta manqul ialah segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke tempat lain. Seperti emas, perak, perunggu, pakaian, kendaraan, dll.
b. Harta ghair manqul ialah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti kebun, rumah, pabrik, sawah, dll. Istilahnya benda bergerak dan benda tetap.
5.    Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur
a. Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik perorangan maupun milik badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk (yang dimiliki) terbagi manjadi dua macam yaitu:
·     Harta perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang di kontrakkan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seseorang yang mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
·      Harta perkongsian (masyarakat) antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang lain. Harta yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan pabrik tersebut diurus bersama.
b. Harta mubah ialah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di hutan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya sesuai dengan kaidah. Sesuai dengan sabda Nabi SAW:“Barang siapa yang menghidupkan tanah(gersang),hutan milik seseorang, maka ia yang paling   berhak memiliki”
c. Harta mahjur ialah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan memberikan kepada orang lain menurut syari’at, adakalanya benda itu benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum,seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan, dll.
6.    Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
a. Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras, tepung, dll.
b. Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas, kursi, meja, dll.

BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Harta merupakan kebutuhan mendasar manusia. Dengan harta tersebut Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa manusia harus mempergunakan harta dengan sebaik – baiknya. Cara memperoleh harta itu banyak sekali asalkan dengan jalan yang halal dan diridhoi Allah SWT. Lalu adanya macam – macam harta yang telah dijelaskan dalam makalah ini supaya kita lebih memahami. Fungsi harta juga sangat banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik, maupun kegunaan dalam hal yang jelek.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta: Rajawali Pers). 2010.
Syafei, Rachmat. Fiqih Muamalat Cetakan 3. (Bandung: CV Pustaka Setia). 2006.

Internet


[1] Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta: Rajawali Pers). 2010. hlm. 9.
[2] Syafei, Rachmat. Fiqih Muamalat Cetakan 3. (Bandung: CV Pustaka Setia). 2006. hlm. 22.
[5] Syafei, Rachmat. Fiqih Muamalat Cetakan 3. (Bandung: CV Pustaka Setia). 2006. hlm. 33.

5 komentar: