Selasa, 27 Januari 2015

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM AL KINDI, AL BIRUNI, IBN HAYYAN, IBNU HAYTSAM, DAN ABU HANIFAH



1.        AL KINDI (800 M / 185 H - 873 M / 260 H)
Al Kindi bernama lengkap Abu Yusuf Yakub bin Ishak al-Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah, diperkirakan sekitar tahun 800 M / 185 H. Berasal dari suku Kindah di selatan Arabia. Kakeknya bernama Al Asy’ats bin Qais disebut-sebut sebagai salah satu sahabat Rasulullah. Beliau dipanggil dengan Al-Kindi karena dihubungkan dengan kabilahnya, yaitu kabilah Arab Kindah. Banyak cendekiawan, baik masa lalu maupun masa kini, yang menyatakan bahwa Al Kindi adalah filsuf Arab pertama. Kaum terpelajar juga menyebut beliau sebagai Bapak Filsafat Arab.[1] Beberapa literatur Barat telah menyelewengkan namanya menjadi Alchendius, sekalipun literatur Barat saat ini menulis dengan namanya yang benar, yaitu Al-Kindi.[2]
Al Kindi berasal dari keluarga berpendidikan dan terpandang. Beliau dibesarkan dalam keluarga yang sejahtera, kaya, dan terpelajar. Ayahnya bernama Ishaq bin Al Sabbah, adalah seorang anggota terhormat administrasi politik Dinasti Abbasiyah dan seorang gubernur di Kuffah pada masa pemerintahan Khalifah Al Mahdi, Al Hadi, dan Harun Al Rasyid. Setelah menyelesaikan studinya di Kuffah, beliau kemudian pindah ke Baghdad dan memperdalam ilmu keagamaan dan filsafat di sana. Sejak kecil beliau senang mempelajari banyak hal, mulai dari ilmu filsafat, kedokteran, matematika, astronomi, astrologi, dan musik. Beliau memberi perhatian khusus terhadap bidang ilmu matematika. Beliau berujar,” Matematika adalah pendahuluan bagi setiap orang yang ingin mempelajari filsafat.” Khusus dalam bidang ilmu filsafat, Al Kindi mempelajarinya berdampingan dengan Al Qur’an. Menurut beliau, filsafat adalah pengetahuan berbagai hal sesuai dengan fakta-faktanya dan Al Qur’an adalah fakta adanya Sang Pencipta.[3]
Di Baghdad, Al Kindi bersama tokoh-tokoh lainnya yang terkenal waktu itu seperti Al Khawarizmi dan Al Farghani menjadi anggota terkemuka Bait al Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Bait al Hikmah adalah perpustakaan dan pusat penelitian ternama yang didirikan oleh Harun Al Rasyid.[4] Mereka bersama-sama mengubah lembaga ini menjadi salah satu pusat studi akademik dan penelitian paling terkenal di dunia Islam saat itu.
Dalam bidang penguasaan bahasa asing, Al Kindi menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Yunani dan Suryani. Ada sumber lain yang mengatakan bahwa beliau juga menguasai bahasa asing lainnya. Penguasaannya terhadap berbagai bahasa inilah yang telah membantunya menguasai berbagai macam ilmu dan menjadi seorang penerjemah. Karena kecerdasan linguistik yang dimilikinya, Khalifah Al Ma’mun memintanya untuk menerjemahkan karya-karya ilmiah, filsafat, matematika Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab untuk kepentingan penelitian umat Muslim. Kemahirannya sebagai penerjemah dan kedalaman pemikirannya membuat Al Kindi diangkat sebagai ahli di istana dan menjadi pembimbing dan pengajar putra Khalifah Al Mu’tasim Ahmad.
Dalam bidang optik, Al Kindi menjelaskan prinsip pergerakan garis lurus cahaya yang muncul dari sebuah benda bercahaya, sebagai salah satu prinsip paling mendasar dalam bidang optik dan membuktikan teorinya dengan percobaan lilin. Dalam bidang musik, beliau menuliskan tentang ritme secara detail. Meskipun Al Kindi berkontribusi dalam dua bidang tersebut, namun beliau lebih dikenal karena tulisan-tulisan filsafatnya. Dalam bidang filsafat, Al Kindi menulis buku berjudul Fil Falsafah al Ula. Dalam buku tersebut, Al Kindi mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu sejauh yang memungkinkan bagi manusia. Menurutnya, filsafat terdiri atas tiga bagian yang disusun berdasarkan tingkat kepentingannya, yaitu teologi, matematika, dan fisika. Dengan menempatkan teologi dalam urutan tertinggi, membuat protes para ulama tradisional. Al Kindi disebut telah melakukan bid’ah atau sesat. Dalam bidang kesehatan dan pengobatan, kontribusi utamanya terdiri dari fakta bahwa beliau adalah orang pertama yang secara sistematis menentukan dosis untuk semua obat yang dikenal pada waktu itu. Hal ini dikarenakan benturan pandangan yang berlaku di antara dokter pada dosis sehingga menyebabkan kesulitan dalam menulis resep.
Menurut ahli bibliografi terkenal, Ibnu al Nadim, Al Kindi menulis dua ratus empat puluh dua buku dan risalah. Namun dalam sumber lain disebutkan bahwa al Kindi telah menulis lebih dari 250 buku, namun hanya sekitar empat puluh buku yang berhasil diselamatkan. Karya lainnya berjudul Al Hatsts ‘ala Falsafah (Anjuran untuk Belajar Filsafat) dan Rasa’il al Falsafah.[5]
Sebegitu luasnya prestasi keilmuan Al Kindi, membuat hasil pemikirannya banyak mempengaruhi ilmuwan Muslim dan ilmuwan Barat.[6] Ilmuwan Barat tersebut bernama Roger Bacon, yang menganggapnya sebagai salah satu pemikir tebesar di dunia. Setelah beberapa bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona, Al Kindi menjadi populer di Barat sebagai filsuf dan ahli optik.[7]
Sebagai penganut pemikiran ilmiah dan filsafat, Al Kindi mengalami penganiayaan pada masa pemerintahan Khalifah Mutawakkil Alallah yang menganut pemikiran tradisional. Sang Khalifah mengusir Al Kindi dari istana. Al Kindi wafat di Baghdad sekitar tahun 873 M / 260 H pada usia tujuh puluh tiga tahun.

2.        AL BIRUNI (973 M – 1050 M)
Al Biruni bernama lengkap Abu Raihan Muhammad bin Ahmad Al Biruni. Beliau lahir dan dibesarkan di dekat kota Khawarizmi di sebuah provinsi di Asia Tengah bernama Khurasan. Dalam sumber lain disebutkan Al Biruni dilahirkan di kota Bairun, Persia pada tahun sekitar 973 M.[8] Ada pula sumber yang menyebutkan beliau dilahirkan di kota Khiva, Khawarizmi, Persia. Meskipun nama aslinya adalah Muhammad, tetapi beliau lebih dikenal dengan nama keluarganya yaitu Al Biruni. Al Biruni dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan intelektual yang ramah. Beliau berada dalam lingkungan yang mendukung pendidikan. Al Biruni muda menekuni pendidikan awalnya dalam bahasa Arab dan Persia, sebelum menerima pendidikan dalam bidang keilmuan Islam tradisional, sastra, dan ilmu-ilmu alam. Sejak dini beliau sangat tertarik dengan matematika dan ilmu-ilmu hukum alam.
Dalam bidang ilmu-ilmu agama, Al Biruni dibimbing oleh ulama-ulama lokal. Beliau juga belajar ilmu-ilmu alam kepada Abu Nasr Al Mansur, murid dari seorang astronom dan ahli matematika terkenal yang bernama Abu Al Wafa Al Bujazani.
Pada tahun 998 M, Al Biruni berpindah dari Khawarizmi ke Persia dan menetap di sana. Beliau bekerja pada pemerintah Syamsul Ma’ali Qabus bin Washmgir dan bekerja kurang lebih selam satu dekade. Beliau juga melanjutkan studinya dan melanjutkan penelitian dalam semua bidang ilmu pengetahuan. Di usia yang kedua puluh tujuh tahun, Al Biruni menulis sebuah buku yang cukup terkenal yang berjudul Kitab al Atsar al Baqiyah an Al Qur’an al Khaliyah (Risalah Tentang Kronologi Bangsa-Bangsa Kuno). Dalam buku tersebut menjelajahi sifat dan konsep waktu dari sudut pandang evolusi dan perubahan sejarah, berfokus pada kehidupan dan masa-masa masyarakat kuno, serta takdir mereka.[9] Buku tersebut juga memuat kalender-kalender dari berbagai budaya serta tulisan-tulisan tentang matematika, geografi, astronomi, dan meteorologi.[10]
Pada tahun 1012 M, Al Biruni kembali ke daerah asalnya di Khawarizmi dan melanjutkan studinya di bawah asuhan Abdul Samad Al Awwal. Situasi pemerintahan pada saat itu sedang buruk. Sejumlah kerajaan di wilayah Asia Tengah saling berperang untuk mendapatkan supremasi politik dan militer. Namun kondisi seperti ini mampu diatasi oleh Sultan Mahmud dan berhasil menguasai seluruh wilayah. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud, Al Biruni dan gurunya, Abdul Samad Al Awwal dianggap menyebarkan aliran sesat dan diputuskan akan dihukum mati. Abdul Samad dihukum mati oleh elite penguasa, sedangkan Al Biruni berhasil diselamatkan oleh penasihat kerajaan karena terbukti tidak menyebarkan pemikiran sesat. Hal tersebut membuat Al Biruni diangkat sebagai astronom senior dan penasehat ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1021 M, Al Biruni tinggal di India dan mulai belajar ilmu pengetahuan tentang India. Beliau mulai mempelajari bahasa Sanskerta, bahasa India kuno. Pada tahun sekitar 1030 M, Al Biruni menulis sebuah buku yang berjudul Kitab Tarikh al Hindi (Sejarah India). Sampai saat ini kitab ini tidak hanya dianggap sebagai sumber informasi yang unik tentang India kuno, tetapi juga kontribusi pertama dalam mempelajari budaya dan peradaban manusia. Kitab tersebut juga merupakan salah satu kitab pertama yang disusun berdasarkan studi-studi dan dialog-dialog antar peradaban. Penelusuran yang cepat melalui buku ini sudah cukup membuktikan bahwa Al Biruni memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang dalam mengenai pemikiran, budaya, dan sejarah India. Bahkan pengetahuannya tentang geografi dan demografi India sangat luas dan otoritatif.[11]
Karena kemampuan linguistiknya cukup tinggi, Al Biruni juga menerjemahkan kitab-kitab Arab ke dalam bahasa India kuno dan sebaliknya. Kitab-kitab yang berhasil beliau terjemahkan antara lain Elements karya Euclid, Almagest karya Ptolomeus ke dalam bahasa Sanskerta. Sementara kita Yoga Sutra karya Patanjali berhasil beliau terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, A Biruni lah yang mempunyai ide membuat Terusan Suez. Beliau juga pencetus teori bahwa cahaya lebih cepat daripada suara. Al Biruni juga menemukan rumus keliling bumi dan menemukan gerakan planet berbentuk elips.[12]
Pada tahun 1031 M, Al Biruni meninggalkan India dan kembali ke Ghaznawi. Beliau disambut gembira oleh putra Sultan Mahmud, yang bernama Mas’ud. Kemudian beliau menulis buku Al Qanuni al Mas’udi. Buku tersebut didedikasikan untuk Sultan Mas’ud. Ketika Al Biruni memberikan bukunya, Sultan Ghaznawi Mas’ud bin Mahmud mengirimi beliau tiga ekor unta yang dimuati uang perak. Namun, Al Biruni menolaknya dan berkata, “Ilmu semestinya dipergunakanuntuk ilmu, bukan untuk harta.” Al Biruni terinspirasi dan merealisasikan hadis Nabi dengan menggali khazanah keilmuan dunia dan akhirat sehingga dikenal dan terpandang sampai saat ini.
Begitu banyak buku yang ditulis oleh Al Biruni. Para ahli sejarah menyebut beliau menulis sebanyak seratus delapan puluh buku. Ada juga sumber lain yang menyebut Al Biruni menulis buku lebih dari dua ratus buku. Jumlah pasti karyanya kurang begitu diketahui karena sebagian besar karya-karyanya sudah tidak ada lagi sampai saat ini. Selain karya-karya yang tersebut di atas, ada beberapa karya lagi yang cukup terkenal antara lain Kitab al Shamil (Buku Pengetahuan Umum), Kitab al Tafhim (Buku Pemahaman), Kitab Tahdid Nihayat al Amakin (Penentuan Koordinat Kota-Kota), Kitab as Saydalah (Kitab Peradaban) yang berisi tentang fakta, angka, dan kutipan dari teks agama Hindu. Dalam bidang kesehatan Al Biruni juga merupakan dokter ahli bedah yang hebat. Karya terhebatnya adalah Kitab al Jamahir Fi’i Jamahar dan Kitab al Dustur.[13]
Meskipun mahir berbahasa Persia, tapi Al Biruni menulis sejumlah besar karyanya dalam bahasa Arab. Hanya sedikit karya al-Biruni yang ditulis dalam bahasa Persia asli dan Persia-Arab. Al Biruni menghabiskan sisa umurnya di Ghaznawi dan pada tahun sekitar 1050 M beliau menghembuskan nafas terakhir pada usia tujuh puluh tujuh tahun. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, lukisannya dicetak di atas perangko Afghanistan.[14] Tidak hanya itu, nama Al Biruni juga dijadikan salah satu nama kawah di bulan. Sosoknya akan selalu dikenang sebagai ilmuwan Muslim genius dengan hasil pemikiran yang bermanfaat bagi umat manusia.

3.        IBN HAYYAN (738 M - 813 M)
Ibn Hayyan bernama lengkap Jabir bin Hayyan bin Abdullah Al Kufi Al Sufi atau dikenal dengan nama Geber di dunia Barat. Beliau dilahirkan pada tahun 738 M di daerah Tus, Provinsi Khurasan, Persia. Beliau  berasal dari suku Azd yang terletak di sebelah selatan Arab. Sedangkan ayahnya seorang apoteker ternama yang membantu Bani Abbasiyah dalam kampanye politik melawan Bani Umayyah. Dikarenakan hubungan politik ayahnya, Ibn Hayyan terpaksa meninggalkan Kuffah dan berpindah ke daerah Khurasan dan terus mendukung pemberontakan Bani Abbasiyah terhadap Bani Umayyah.
Karena mendukung pemberontakan, ayahnya dihukum mati oleh pengadilan Umayyah. Akibatnya, Ibn Hayyan dan keluarganya jatuh miskin. Sepeninggal ayahnya, Jabir terus memegang petuah ayahnya. Nasehat ayahnya begitu mendalam, sehingga untuk itulah Jabir bertekad hendak mewujudkan cita-citanya seperti yang diharapkan oleh ayahnya. Untuk dapat memenuhi harapan ayahnya itu, Jabir pun memulai langkah awal dengan berhijrah menuju ke negeri lain untuk menuntut ilmu. Kemudian ibunya mengirim Ibn Hayyan ke Arabia untuk meneruskan pendidikannya.
Ibn Hayyan menjadi pemuda sholeh dan mulai mempelajari ilmu-ilmu kimia di bawah asuhan seorang ulama besar, Ja’far Shadiq - pendiri madzhab hukum Syi’ah dua belas Imam atau lebih dikenal dengan madzhab Ja’fari. Selain Imam Ja’far, Jabir juga mendatangi guru lainnya seperti Udha Al Himar yang kala itu masih merupakan rekan seangkatan dari Khalid Barmaki dan Yahya.[15] Ibn Hayyan kemudian mempelajari ilmu kedokteran pada masa Kekhalifahan Abbasiyah di bawah pimpinan Harun Ar-Rasyid dari seorang guru yang bernama Barmaki Vizier. Beliau mengembangkan teknik eksperimentasi sistematis di dalam penelitian kimia, sehingga setiap eksperimen dapat direproduksi kembali. Jabir menekankan bahwa kuantitas zat berhubungan dengan reaksi kimia yang terjadi, sehingga dapat dianggap Jabir telah merintis ditemukannya hukum perbandingan tetap.[16]
Untuk menunjang kegiatan ilmiahnya, Ibn Hayyan sewaktu berada di Kuffah kemudian mendirikan sebuah laboratorium sederhana yang dirancangnya sesuai dengan kebutuhan masa itu. Di sana beliau mengembangkan dan melakukan banyak eksperimen kimia untuk membuktikan atau menyangkal pandangan-pandangan teoretisnya mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kimia. Lewat percobaan dan penelitiannya, Ibn Hayyan juga menyumbangkan beberapa teori tentang penguapan, pembutiran, pelelehan, persenyawaan, dan sublimasi. Awalnya Ibn Hayyan mengelompokkan senyawa kimia menjadi tiga kelompok, yaitu spirit (amonium klorida), metal (emas), stones (serbuk).[17] Sekarang kita mengenalnya dengan logam dan non logam. Ibn Hayyan menyumbangkan pengetahuan untuk pengembangan baja, anti karat, tinta, emas, penggunaan bijih mangan untuk membuat gelas, bahan pengering pakaian dan penyamakan kulit, pelapisan bahan anti air pada pakaian serta campuran bahan cat dan pelumas. Dari tempat sederhana itu, Ibn Hayyan dengan segudang prestasinya mendapat gelar sebagai “Guru Besar Kimia dalam Islam”. Gelar yang memang patut disandang oleh Ibn Hayyan atas perhatiannya yang begitu besar terhadap ilmu kimia serta keahliannya yang luar biasa.
Bukan hanya seorang ahli kimia yang luar biasa, Ibn Hayyan juga seorang penulis yang produktif. Karya-karya Ibn Hayyan antara lain: Kitab Al Kimya (diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi The Book of the Composition of Alchemy), Kitab Al Sab'een, Kitab Al Rahmah, Al Tajmi, Al Zilaq al Sharqi, Book of The Kingdom, Book of Eastern Mercury, dan Book of Balance.[18] Beliau menulis delapan puluh buku, bahkan ada sumber lain yang menjelaskan Ibn Hayyan menulis lebih dari seratus buku. Menurut ahli sejarah, sebagian besar buku karya Ibn Hayyan hilang dalam serangan Mongolia ke Baghdad sekitar tahun 1258 M.
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah jatuh di masa Barmakiyah, Ibn Hayyan lari ke Kuffah dan menetap di sana seraya bersembunyi dari para pendukung Khalifah tanpa ada seorangpun dari mereka yang mengetahuinya. Jejaknya kemudian tidak diketahui kecuali setelah dua abad kemudian dari tahun wafatnya ketika laboratoriumnya  ditemukan setelah digusurnya rumah-rumah yang terletak di Distrik Bab, Damaskus, tempat tinggalnya. Diketahui Ibn Hayyan tutup usia pada tahun 813 M pada usia tujuh puluh lima tahun dan dimakamkan di Kuffah.

4.        IBNU HAYTSAM (965 M / 354 H - 1039 M / 430 H)
Salah satu ilmuwan muslim yang sangat terkenal adalah Ibnu Haytsam. Ibnu Haytsam bernama lengkap Abu Ali al Hasan bin al Haytsam. Ibnu Haytsam dikenal dengan Alhazen di Barat. Beliau dilahirkan di kota Basrah, Irak sekitar tahun 965 M / 354 H. Beliau dilahirkan dan dibesarkan di tengah kondisi pemerintahan yang tidak stabil, yaitu periode politik yang paling ricuh sepanjang sejarah dunia Islam. Di tengah kehebohan politik, Ibnu Haytsam mempelajari bahasa Arab dan aspek keilmuan Islam tradisional selama tahun-tahun pertama, kemudian beliau melanjutkan studinya di Baghdad. Sejak muda, beliau menunjukkan rasa ingin tahunya dan selalu bertanya-tanya tentang apa saja yang ada di sekelilingnya.
Di Baghdad, Ibnu Haytsam melakukan penelitian terhadap semua cabang ilmu pengetahuan. Tidak hanya Ibnu Haytsam, tetapi juga para ilmuwan dan cendekiawan yang lain. Hal ini dikarenakan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Abbasiyah. Alhasil, mereka membuka jalan munculnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana yang kita ketahui sekarang.
Karena kecerdasannya yang tinggi, Ibnu Haytsam cemerlang di berbagai ilmu pengetahuan seperti matematika, astronomi, fisika, biologi, dan ilmu kedokteran. Bahkan karena kecerdasannya pula, Ibnu Haytsam pernah ditunjuk oleh tokoh matematika terpandang yang bernama Qaysar bin Musafir sebagai pejabat setingkat menteri di daerah Basrah dan sekitarnya.[19] Namun, Ibnu Haytsam sebenarnya merasa gelisah. Menurut beliau, kedudukan sebagai pejabat pemerintah membuatnya tidak memiliki banyak waktu untuk belajar dan belajar. Kemudian beliau menyerahkan jabatannya dan kembali meneruskan belajarnya di Mesir yang saat itu dipimpin oleh Al Hakim (996 M – 1021 M).
Setelah cukup lama menetap di Kairo, Mesir, para penguasa Dinasti Fathimiyah mendengar tentang keahliannya di bidang ilmiah. Tak lama kemudian Al Hakim, penguasa Dinasti Fathimiyah mengundang Ibnu Haytsam dan memintanya mengatasi persoalan yang sedang dihadapi oleh Al Hakim. Waktu itu Sungai Nil sering meluap dan menggenangi pemukiman penduduk. Kemudian Ibnu Haytsam menyusun rencana mengendalikan luapan Sungai Nil dengan membangun sebuah konstruksi semacam bendungan yang dapat mengurangi dampak banjir. Ternyata rancangan bendungan tersebut persis seperti rancangan Bendungan Aswan yang modern.[20] Namun, pengerjaan konstruksi tersebut terkendala banyak masalah yang tidak bisa beliau pecahkan sendiri. Al Hakim merasa kesal dan marah dengan hasil kerja Ibnu Haytsam. Kegagalan tersebut membuat perlindungan kerajaan ditarik darinya dan sangat merugikan. Ibnu Haytsam terpaksa menjual salinan karyanya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun, dalam sumber lain disebutkan bahwa Ibnu Haytsam mendapatkan hukuman kurungan selama sepuluh tahun. Dalam penjara inilah, Ibnu Haytsam diperkirakan banyak menghasilkan karya tulisnya.
Dalam bidang astronomi, Ibnu Haytsam banyak mengkritisi astronom Yunani. Penilaian kritis tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul The Summary of Astronomy (Ringkasan Tentang Astronomi). Dalam buku tersebut, Ibnu Haytsam berpendapat bahwa metode ilmiah yang digunakan oleh Ptolomeus dalam bukunya Almagest dalam menjelaskan gerakan planet sangatlah tidak konsisten dan kurang tepat. Pendapatnya tersebut kemudian mendapat dukungan dari ilmuwan-ilmuwan Muslim lainnya, seperti Abu Ishaq Al Bitruji dan Abu Hasan Ali bin Al Syatir. Tak hanya ilmuwan-ilmuwan Muslim yang mendukungnya, ilmuwan-ilmuwan Barat yang cukup terkenal seperti Copernicus dan Kepler juga ikut terpengaruh. Hasil karyanya yang lain adalah On Twilight Phenomena. Dalam buku tersebut beliau memperhitungkan tinggi atmosfer adalah sekitar 10 mil.[21]
Dalam disiplin ilmu fisika, Ibnu Haytsam berkontribusi cukup luar biasa. Beliau menemukan teori optik dan lensa mata. Beliau menjelaskan bagaimana cahaya muncul dari sebuah benda yang bercahaya hingga memasuki mata. Beliau juga menjelaskan secara rinci dan detail tentang bagian-bagian mata dan fungsinya. Semuanya dijelaskan dalam karyanya yang berjudul Kitab al Manazir (Kitab Optik). Buku yang ditulis selama sepuluh tahun tersebut memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap ilmuwan-ilmuwan Barat seperti Robert Grosseteste, Roger Bacon, Witelo, Theodoric, Kepler, dan Newton.[22] Karena keahliannya dalam pengembangan bidang optik inilah, Ibnu Haytsam disebut sebagai Bapak Optik Modern. Selain optik, beliau juga menciptakan barometer dan alat hampa udara.
Setelah cukup banyak berkontribusi dalam pengetahuan, Ibnu Haytsam tutup usia pada tahun 1039 M / 430 H pada usia tujuh puluh empat tahun dan dimakamkan di Kairo. Ribuan manusia berduyun-duyun menuju rumah beliau di Kairo. Demikianlah bila kita menjadi orang yang berguna, orang pasti tidak akan melupakan kita.

5.        ABU HANIFAH (700 M - 767 M)
Abu Hanifah bernama lengkap Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mah. Tetapi beliau lebih dikenal dengan nama leluhurnya, Abu Hanifah. Beliau dilahitkan pada tahun sekitar 700 M / 80 H, sepuluh tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad dan beliau bertemu dengan banyak tabi’in (mereka yang pernah bertemu, tinggal, dan bergaul dengan Sahabat Nabi). Beliau dilahirkan di Kuffah, Irak pada masa pemerintahan khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik bin Marwan. Beliau dibesarkan di lingkungan keluarga yang cukup mampu. Ayahnya bernama Tsabit, seorang pengusaha sukses dan terkenal. Sama seperti ayahnya, Abu Hanifah tumbuh menjadi seorang pengusaha yang sukses juga.
 Abu Hanifah begitu sangat beruntung bisa bertemu dengan beberapa Sahabat Nabi, seperi Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Abu Al Tufail Amir bin Jabir bin Watihiah, dan Jabir bin Abdullah. Namun, ada beberapa cendekiawan Muslim meragukan Abu Hanifah pernah bertemu Sahabat Rasulullah.
Abu Hanifah bisa dibilang terlambat untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam. Beliau menghabiskan waktunya dengan berbisnis dan berdagang. Akan tetapi, berkat ketekunan dan keseriusannya beliau akhirnya menjadi seorang ilmuwan dan pemikir yang terkenal. Di Kuffah, beliau belajar ilmu tradisional Islam yang melaiputi tafsir Qur’an, teologi Islam, dan fiqih pada ulama-ulama terkenal, seperti Al Syabi, Salamah bin Kuhail, A’masy, Hammad, dan Amr bin Murrah.
Kemudian Abu Hanifah pergi ke Mekkah untuk menjalankan ibadah haji dan menetap di sana. Di sana, beliau melanjutkan studinya kepada para ulama Mekkah dan Madinah. Bahkan beliau terdaftar sebagai murid di sekolah milik seorang cendekiawan terkemuka, Ata bin Abu Rabah. Dalam bidang hadis, beliau berguru pada Ikrima, murid dari Abdullah bin Abbas – sepupu Rasulullah. Selain di Mekkah beliau juga belajar ilmu hadis di Madinah kepada seorang ulama terpelajar yang bernama Sulaiman.
Karena wawasannya yang luas dan kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum Islam, Abu Hanifah bersama muridnya kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqih untuk bermusyawarah tentang hukum-hukum Islam dan menetapkan hukum-hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang-undangan. Hukum inilah yang sekarang dikenal sebagai Mazhab Hanafi, mazhab pemikiran hukum Islam yang paling banyak diikuti di dunia Islam saat ini. Mazhab ini dipelopori oleh Abu Hanifah dan murud-muridnya, seperti Zu’far bin Al Hudhail, Abu Yusuf Yaqub bin Ibrahim, dan Muhammad bin Al Hasan Al Syaibani.[23] Lembaga tersebut menghasilkan delapan puluh tiga ribu keputusan/kesimpulan dengan tiga puluh delapan ribunya berhubungan dengan dasar hukum Islam dan empat puluh lima ribunya berhubungan dengan peraturan duniawi.
Metode yang digunakan Abu Hanifah dalam menetapkan hukum (istinbat) berdasarkan pada tujuh hal pokok. Yang pertama, menempatkan Al Quran sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kedua, Sunnah Rasul sebagai penjelasan terhadap hal-hal yang global yang ada dalam Al Quran. Ketiga, fatwa sahabat (aqwal assahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbab nuzul-nya serta asbabul khuruj-nya hadis dan para perawinya, sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat. Keempat, qiyas (analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al Quran, hadis maupun aqwal asshabah. Kelima, istihsan yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang menyalahinya dikarenakan tidak tepatnya qiyas atau qiyas tersebut berlawanan dengan nash. Keenam, ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu. Ketujuh, ‘urf yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nash-nya dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.[24]
Begitu banyaknya kontribusi Abu Hanifah dalam bidang fiqih. Banyak sekali karya-karyanya yang cukup populer, di antaranya Kitab as Salah, Kitab al Manasik, Kitab bar Rahan, Kitab ash Shurut, Kitab al Faraid, Kitab, al Alim wal Mutallim, Kitab al Asrar, Kitab ar Risala, Kitab al Irja’, Kitab al Wasiya, Kitab Radd ‘alal Awzah, Kitab bar Ra’y, Kitab Ikhtilaf as Sahaba, Ikhtilaf Abi Hanifa wa Abu Layla, Kitab al Jami’, Kitab as Siyar, Kitab al Awsat, Kitab Fiqh al Akbar, Kitab Fiqh al Awsat, Kitab ar Radd ‘al Qadiriyya, Risala to Utsman al Batti, dan masih ada ratusan surat dan pamflet.[25]
Di hari tuanya, Abu Hanifah dihukum penjara karena menolak jabatan Mahkamah Agung di kerajaan Abbasiyah. Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa abu Hanifah dipenjara dikarenakan mendukung mazhab Syi’ah yang menentang Dinasti Abbasiyah. Abu Hanifah wafat pada tahun 767 M pada usia enam puluh tujuh tahun dan dimakamkan di Baghdad. Untuk mengenang jasa-jasanya, seorang arsitek pada masa Dinasti Usmani membangun mausoleum (kompleks makam yang besar dan indah) di kota Baghdad.



DAFTAR PUSTAKA

Buku
AmaLee, Irfan, dkk., Ensiklopedi Bocah Muslim, (Bandung: Dar! Mizan, 2003).
Candra, Nita, 23 Ilmuwan Besar Islam, (Solo: Tiga Ananda Creative Imprint of Tiga Serangkai, 2014).
Firmansyah, Adhe, 108 Tokoh Ilmuwan dan Penemu Dunia, (Jogjakarta: Garasi House of Book, 2010).
Haque, M. Atiqul, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Jogjakarta: Diglossia, 2011).
Khan, Muhammad Mojlum, 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Noura Books Mizan Publika, 2012).
Wardhana, Eka, Ensiklopedi Anak Pintar, (Jakarta: PT. Sapta Sentosa, 2011).

Internet
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-hanafi.html. Diakses pada tanggal 19 Januari 2015 12:23.
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Musa_Jabir_bin_Hayyan. Diakses pada tanggal 21 Januari 2015 12:41.


[1] Nita Candra, 23 Ilmuwan Besar Islam, (Solo: Tiga Ananda Creative Imprint of Tiga Serangkai, 2014), hlm. 23.
[3] Nita Candra, loc. cit.
[4] Muhammad Mojlum Khan, 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Noura Books Mizan Publika, 2012), hlm. 219
[5] Nita Candra, loc. cit.
[6] Irfan AmaLee dkk., Ensiklopedi Bocah Muslim, (Bandung: Dar! Mizan, 2003), hlm. 36
[7] Muhammad Mojlum Khan, op. cit., hlm. 224
[8] Eka Wardhana, Ensiklopedi Anak Pintar, (Jakarta: PT. Sapta Sentosa, 2011), hlm. 10
[9] Muhammad Mojlum Khan, op. cit., hlm. 276
[10] Nita Candra, op. cit., hlm. 41
[11] Muhammad Mojlum Khan, op. cit., hlm. 279
[12] Eka Wardhana, op. cit., hlm. 10
[13] Irfan AmaLee dkk., op. cit., hlm. 39
[14] Nita Candra, op. cit., hlm. 42
[16] http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Musa_Jabir_bin_Hayyan. Diakses pada tanggal 21 Januari 2015.
[17] Adhe Firmansyah, 108 Tokoh Ilmuwan dan Penemu Dunia, (Jogjakarta: Garasi House of Book, 2010), hlm. 240
[18] Ibid.
[19] Nita Candra, op. cit., hlm. 31
[20] Eka Wardhana, op. cit., hlm. 17
[21] M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Jogjakarta: Diglossia, 2011), hlm. 136
[22] Muhammad Mojlum Khan, op. cit., hlm. 410
[23] Muhammad Mojlum Khan, op. cit., hlm. 109
[25] M. Atiqul Haque, op. cit., hlm. 6
                                                                                                                                                     




                                                                                                                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar