1.
AL KINDI (800 M / 185 H -
873 M / 260 H)
Al
Kindi bernama lengkap Abu Yusuf Yakub bin Ishak al-Kindi. Ia dilahirkan di
Kuffah, diperkirakan sekitar tahun 800 M / 185 H. Berasal dari suku Kindah di
selatan Arabia. Kakeknya bernama Al Asy’ats bin Qais disebut-sebut sebagai
salah satu sahabat Rasulullah. Beliau dipanggil dengan Al-Kindi karena
dihubungkan dengan kabilahnya, yaitu kabilah Arab Kindah. Banyak cendekiawan,
baik masa lalu maupun masa kini, yang menyatakan bahwa Al Kindi adalah filsuf
Arab pertama. Kaum terpelajar juga menyebut beliau sebagai Bapak Filsafat Arab.[1]
Beberapa literatur Barat telah menyelewengkan namanya menjadi Alchendius,
sekalipun literatur Barat saat ini menulis dengan namanya yang benar, yaitu
Al-Kindi.[2]
Al
Kindi berasal dari keluarga berpendidikan dan terpandang. Beliau dibesarkan
dalam keluarga yang sejahtera, kaya, dan terpelajar. Ayahnya bernama Ishaq bin
Al Sabbah, adalah seorang anggota terhormat administrasi politik Dinasti
Abbasiyah dan seorang gubernur di Kuffah pada masa pemerintahan Khalifah Al
Mahdi, Al Hadi, dan Harun Al Rasyid. Setelah menyelesaikan studinya di Kuffah,
beliau kemudian pindah ke Baghdad dan memperdalam ilmu keagamaan dan filsafat
di sana. Sejak kecil beliau senang mempelajari banyak hal, mulai dari ilmu filsafat,
kedokteran, matematika, astronomi, astrologi, dan musik. Beliau memberi
perhatian khusus terhadap bidang ilmu matematika. Beliau berujar,” Matematika
adalah pendahuluan bagi setiap orang yang ingin mempelajari filsafat.” Khusus
dalam bidang ilmu filsafat, Al Kindi mempelajarinya berdampingan dengan Al
Qur’an. Menurut beliau, filsafat adalah pengetahuan berbagai hal sesuai dengan
fakta-faktanya dan Al Qur’an adalah fakta adanya Sang Pencipta.[3]
Di Baghdad, Al
Kindi bersama tokoh-tokoh lainnya yang terkenal waktu itu seperti Al Khawarizmi
dan Al Farghani menjadi anggota terkemuka Bait al Hikmah (Rumah
Kebijaksanaan). Bait al Hikmah adalah perpustakaan dan pusat penelitian
ternama yang didirikan oleh Harun Al Rasyid.[4]
Mereka bersama-sama mengubah lembaga ini menjadi salah satu pusat studi
akademik dan penelitian paling terkenal di dunia Islam saat itu.
Dalam bidang
penguasaan bahasa asing, Al Kindi menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Yunani dan
Suryani. Ada sumber lain yang mengatakan bahwa beliau juga menguasai bahasa
asing lainnya. Penguasaannya terhadap berbagai bahasa inilah yang telah
membantunya menguasai berbagai macam ilmu dan menjadi seorang penerjemah. Karena
kecerdasan linguistik yang dimilikinya, Khalifah Al Ma’mun memintanya untuk
menerjemahkan karya-karya ilmiah, filsafat, matematika Yunani, Persia, dan
India ke dalam bahasa Arab untuk kepentingan penelitian umat Muslim. Kemahirannya
sebagai penerjemah dan kedalaman pemikirannya membuat Al Kindi diangkat sebagai
ahli di istana dan menjadi pembimbing dan pengajar putra Khalifah Al Mu’tasim
Ahmad.
Dalam bidang
optik, Al Kindi menjelaskan prinsip pergerakan garis lurus cahaya yang muncul
dari sebuah benda bercahaya, sebagai salah satu prinsip paling mendasar dalam
bidang optik
dan membuktikan teorinya dengan percobaan lilin. Dalam
bidang musik, beliau menuliskan tentang ritme
secara detail. Meskipun Al Kindi berkontribusi dalam dua bidang tersebut, namun
beliau lebih dikenal karena tulisan-tulisan filsafatnya. Dalam bidang filsafat,
Al Kindi menulis buku berjudul Fil Falsafah al Ula. Dalam buku tersebut,
Al Kindi mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu
sejauh yang memungkinkan bagi manusia. Menurutnya, filsafat terdiri atas tiga
bagian yang disusun berdasarkan tingkat kepentingannya, yaitu teologi,
matematika, dan fisika. Dengan menempatkan teologi dalam urutan tertinggi,
membuat protes para ulama tradisional. Al Kindi disebut telah melakukan bid’ah
atau sesat. Dalam bidang kesehatan dan pengobatan, kontribusi utamanya terdiri
dari fakta bahwa beliau adalah orang pertama yang secara sistematis menentukan
dosis untuk semua obat yang dikenal pada waktu itu. Hal ini dikarenakan benturan pandangan yang
berlaku di antara dokter pada dosis sehingga menyebabkan
kesulitan dalam menulis resep.
Menurut ahli bibliografi terkenal, Ibnu al Nadim, Al Kindi menulis dua
ratus empat puluh dua buku dan risalah. Namun dalam sumber lain disebutkan
bahwa al Kindi telah menulis lebih dari 250 buku, namun hanya sekitar empat
puluh buku yang berhasil diselamatkan. Karya lainnya berjudul Al Hatsts ‘ala
Falsafah (Anjuran untuk Belajar Filsafat) dan Rasa’il al Falsafah.[5]
Sebegitu luasnya prestasi keilmuan Al Kindi, membuat hasil pemikirannya
banyak mempengaruhi ilmuwan Muslim dan ilmuwan Barat.[6]
Ilmuwan Barat tersebut bernama Roger Bacon, yang menganggapnya sebagai salah
satu pemikir tebesar di dunia. Setelah beberapa bukunya diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona, Al Kindi menjadi populer di Barat
sebagai filsuf dan ahli optik.[7]
Sebagai penganut pemikiran ilmiah dan filsafat, Al Kindi mengalami
penganiayaan pada masa pemerintahan Khalifah Mutawakkil Alallah yang menganut
pemikiran tradisional. Sang Khalifah mengusir Al Kindi dari istana. Al Kindi
wafat di Baghdad sekitar tahun 873 M / 260
H pada usia tujuh puluh tiga tahun.
2.
AL BIRUNI (973 M – 1050 M)
Al Biruni bernama
lengkap Abu Raihan Muhammad bin Ahmad Al Biruni. Beliau lahir dan dibesarkan di
dekat kota Khawarizmi di sebuah provinsi di Asia Tengah bernama Khurasan. Dalam
sumber lain disebutkan Al Biruni dilahirkan di kota Bairun, Persia pada tahun
sekitar 973 M.[8] Ada pula
sumber yang menyebutkan beliau dilahirkan di kota Khiva, Khawarizmi, Persia.
Meskipun nama aslinya adalah Muhammad, tetapi beliau lebih dikenal dengan nama
keluarganya yaitu Al Biruni. Al Biruni dilahirkan dan dibesarkan dalam
lingkungan intelektual yang ramah. Beliau berada dalam lingkungan yang
mendukung pendidikan. Al Biruni muda menekuni pendidikan awalnya dalam bahasa
Arab dan Persia, sebelum menerima pendidikan dalam bidang keilmuan Islam
tradisional, sastra, dan ilmu-ilmu alam. Sejak dini beliau sangat tertarik
dengan matematika dan ilmu-ilmu hukum alam.
Dalam bidang
ilmu-ilmu agama, Al Biruni dibimbing oleh ulama-ulama lokal. Beliau juga
belajar ilmu-ilmu alam kepada Abu Nasr Al Mansur, murid dari seorang astronom
dan ahli matematika terkenal yang bernama Abu Al Wafa Al Bujazani.
Pada tahun 998 M,
Al Biruni berpindah dari Khawarizmi ke Persia dan menetap di sana. Beliau
bekerja pada pemerintah Syamsul Ma’ali Qabus bin Washmgir dan bekerja kurang
lebih selam satu dekade. Beliau juga melanjutkan studinya dan melanjutkan
penelitian dalam semua bidang ilmu pengetahuan. Di usia yang kedua puluh tujuh
tahun, Al Biruni menulis sebuah buku yang cukup terkenal yang
berjudul Kitab al Atsar al Baqiyah an Al Qur’an al Khaliyah (Risalah
Tentang Kronologi Bangsa-Bangsa Kuno). Dalam buku tersebut menjelajahi sifat
dan konsep waktu dari sudut pandang evolusi dan perubahan sejarah, berfokus
pada kehidupan dan masa-masa masyarakat kuno, serta takdir mereka.[9] Buku
tersebut
juga memuat kalender-kalender dari berbagai budaya serta tulisan-tulisan
tentang matematika, geografi, astronomi, dan meteorologi.[10]
Pada tahun 1012 M,
Al Biruni kembali ke daerah asalnya di Khawarizmi dan melanjutkan studinya di
bawah asuhan Abdul Samad Al Awwal. Situasi pemerintahan pada saat itu sedang
buruk. Sejumlah kerajaan di wilayah Asia Tengah saling berperang untuk
mendapatkan supremasi politik dan militer. Namun kondisi seperti ini mampu
diatasi oleh Sultan Mahmud dan berhasil menguasai seluruh wilayah. Pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud, Al Biruni dan gurunya, Abdul Samad Al Awwal
dianggap menyebarkan aliran sesat dan diputuskan akan dihukum mati. Abdul Samad
dihukum mati oleh elite penguasa, sedangkan Al Biruni berhasil diselamatkan
oleh penasihat kerajaan karena terbukti tidak menyebarkan pemikiran sesat. Hal
tersebut membuat Al Biruni diangkat sebagai astronom senior dan penasehat ilmu
pengetahuan.
Pada tahun 1021 M,
Al Biruni tinggal di India dan mulai belajar ilmu pengetahuan tentang India.
Beliau mulai mempelajari bahasa Sanskerta, bahasa India kuno. Pada tahun
sekitar 1030 M, Al Biruni menulis sebuah buku yang berjudul Kitab Tarikh al
Hindi (Sejarah India). Sampai saat ini kitab ini tidak hanya dianggap
sebagai sumber informasi yang unik tentang India kuno, tetapi juga kontribusi
pertama dalam mempelajari budaya dan peradaban manusia. Kitab tersebut juga
merupakan salah satu kitab pertama yang disusun berdasarkan studi-studi dan
dialog-dialog antar peradaban. Penelusuran yang cepat melalui buku ini sudah
cukup membuktikan bahwa Al Biruni memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang
dalam mengenai pemikiran, budaya, dan sejarah India. Bahkan pengetahuannya
tentang geografi dan demografi India sangat luas dan otoritatif.[11]
Karena kemampuan
linguistiknya cukup tinggi, Al Biruni juga menerjemahkan kitab-kitab Arab ke
dalam bahasa India kuno dan sebaliknya. Kitab-kitab yang berhasil beliau
terjemahkan antara lain Elements karya Euclid, Almagest karya Ptolomeus
ke dalam bahasa Sanskerta. Sementara kita Yoga Sutra karya Patanjali
berhasil beliau terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, A Biruni lah yang
mempunyai ide membuat Terusan Suez. Beliau juga pencetus teori bahwa cahaya
lebih cepat daripada suara. Al Biruni juga menemukan rumus keliling bumi dan
menemukan gerakan planet berbentuk elips.[12]
Pada tahun 1031 M,
Al Biruni meninggalkan India dan kembali ke Ghaznawi. Beliau disambut gembira
oleh putra Sultan Mahmud, yang bernama Mas’ud. Kemudian beliau menulis buku Al
Qanuni al Mas’udi. Buku tersebut didedikasikan untuk Sultan Mas’ud. Ketika
Al Biruni memberikan bukunya, Sultan Ghaznawi Mas’ud bin Mahmud mengirimi
beliau tiga ekor unta yang dimuati uang perak. Namun, Al Biruni menolaknya dan
berkata, “Ilmu semestinya dipergunakanuntuk ilmu, bukan untuk harta.” Al Biruni
terinspirasi dan merealisasikan hadis Nabi dengan menggali khazanah keilmuan
dunia dan akhirat sehingga dikenal dan terpandang sampai saat ini.
Begitu banyak buku
yang ditulis oleh Al Biruni. Para ahli sejarah menyebut beliau menulis sebanyak
seratus delapan puluh buku. Ada juga sumber lain yang menyebut Al Biruni
menulis buku lebih dari dua ratus buku. Jumlah pasti karyanya kurang begitu
diketahui karena sebagian besar karya-karyanya sudah tidak ada lagi sampai saat
ini. Selain karya-karya yang tersebut di atas, ada beberapa karya lagi yang
cukup terkenal antara lain Kitab al Shamil (Buku Pengetahuan Umum), Kitab
al Tafhim (Buku Pemahaman), Kitab Tahdid Nihayat al Amakin (Penentuan
Koordinat Kota-Kota), Kitab as Saydalah (Kitab Peradaban) yang berisi
tentang fakta, angka, dan kutipan dari teks agama Hindu. Dalam bidang kesehatan
Al Biruni juga merupakan dokter ahli bedah yang hebat. Karya terhebatnya adalah
Kitab al Jamahir Fi’i Jamahar dan Kitab al Dustur.[13]
Meskipun mahir berbahasa Persia, tapi Al Biruni
menulis sejumlah besar karyanya dalam bahasa Arab. Hanya sedikit karya
al-Biruni yang ditulis dalam bahasa Persia asli dan Persia-Arab. Al Biruni menghabiskan sisa umurnya di Ghaznawi dan pada
tahun sekitar 1050 M beliau menghembuskan nafas terakhir pada usia tujuh puluh
tujuh tahun. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, lukisannya dicetak di atas
perangko Afghanistan.[14]
Tidak hanya itu, nama Al Biruni juga dijadikan salah satu nama kawah di bulan.
Sosoknya akan selalu dikenang sebagai ilmuwan Muslim genius dengan hasil
pemikiran yang bermanfaat bagi umat manusia.
3.
IBN HAYYAN (738 M - 813 M)
Ibn Hayyan
bernama lengkap Jabir bin Hayyan bin Abdullah Al Kufi Al Sufi atau
dikenal dengan nama Geber di dunia Barat. Beliau dilahirkan pada tahun 738 M di daerah Tus, Provinsi Khurasan, Persia.
Beliau berasal dari suku Azd yang
terletak di sebelah selatan Arab. Sedangkan ayahnya seorang apoteker ternama
yang membantu Bani Abbasiyah dalam kampanye politik melawan Bani Umayyah. Dikarenakan
hubungan politik ayahnya, Ibn Hayyan terpaksa meninggalkan Kuffah dan berpindah
ke daerah Khurasan dan terus mendukung pemberontakan Bani Abbasiyah terhadap Bani
Umayyah.
Karena mendukung pemberontakan, ayahnya dihukum mati oleh pengadilan
Umayyah. Akibatnya, Ibn Hayyan dan keluarganya jatuh miskin. Sepeninggal
ayahnya, Jabir terus memegang petuah ayahnya. Nasehat ayahnya begitu mendalam,
sehingga untuk itulah Jabir bertekad hendak mewujudkan cita-citanya seperti
yang diharapkan oleh ayahnya. Untuk dapat memenuhi harapan ayahnya itu, Jabir
pun memulai langkah awal dengan berhijrah menuju ke negeri lain untuk menuntut
ilmu. Kemudian ibunya mengirim Ibn Hayyan ke Arabia untuk
meneruskan pendidikannya.
Ibn Hayyan menjadi pemuda sholeh dan mulai mempelajari ilmu-ilmu kimia di
bawah asuhan seorang ulama besar, Ja’far Shadiq - pendiri madzhab hukum Syi’ah dua belas Imam atau lebih dikenal dengan
madzhab Ja’fari. Selain
Imam Ja’far, Jabir juga mendatangi guru
lainnya seperti Udha Al Himar
yang kala itu masih merupakan rekan seangkatan dari Khalid Barmaki dan
Yahya.[15] Ibn Hayyan kemudian mempelajari ilmu kedokteran pada
masa Kekhalifahan Abbasiyah di bawah pimpinan Harun Ar-Rasyid dari seorang guru
yang bernama Barmaki Vizier. Beliau mengembangkan teknik eksperimentasi
sistematis di dalam penelitian kimia, sehingga setiap eksperimen dapat
direproduksi kembali. Jabir menekankan bahwa kuantitas zat berhubungan dengan
reaksi kimia yang terjadi, sehingga dapat dianggap Jabir telah merintis
ditemukannya hukum perbandingan tetap.[16]
Untuk menunjang kegiatan ilmiahnya, Ibn Hayyan sewaktu berada di Kuffah
kemudian mendirikan sebuah laboratorium sederhana yang dirancangnya sesuai
dengan kebutuhan masa itu. Di sana beliau mengembangkan dan melakukan banyak
eksperimen kimia untuk membuktikan atau menyangkal pandangan-pandangan
teoretisnya mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kimia. Lewat percobaan
dan penelitiannya, Ibn Hayyan juga menyumbangkan beberapa teori tentang
penguapan, pembutiran, pelelehan, persenyawaan, dan sublimasi. Awalnya Ibn
Hayyan mengelompokkan senyawa kimia menjadi tiga kelompok, yaitu spirit (amonium
klorida), metal (emas), stones (serbuk).[17]
Sekarang kita mengenalnya dengan logam dan non logam. Ibn Hayyan menyumbangkan pengetahuan untuk pengembangan baja, anti karat,
tinta, emas, penggunaan bijih mangan untuk membuat gelas, bahan pengering
pakaian dan penyamakan kulit, pelapisan bahan anti air pada pakaian serta
campuran bahan cat dan pelumas. Dari tempat sederhana itu, Ibn Hayyan dengan segudang prestasinya mendapat
gelar sebagai “Guru Besar Kimia dalam Islam”. Gelar yang memang patut disandang
oleh Ibn Hayyan atas perhatiannya yang begitu besar
terhadap ilmu kimia serta keahliannya yang luar biasa.
Bukan hanya seorang ahli kimia yang luar biasa, Ibn Hayyan juga seorang
penulis yang produktif. Karya-karya Ibn Hayyan antara lain: Kitab Al Kimya (diterjemahkan ke bahasa Inggris
menjadi The Book of the Composition of Alchemy), Kitab Al Sab'een, Kitab Al Rahmah, Al Tajmi, Al Zilaq al Sharqi, Book of The Kingdom, Book of
Eastern Mercury, dan Book of Balance.[18]
Beliau menulis delapan puluh buku, bahkan ada sumber lain yang menjelaskan Ibn
Hayyan menulis lebih dari seratus buku. Menurut ahli sejarah, sebagian besar
buku karya Ibn Hayyan hilang dalam serangan Mongolia ke Baghdad sekitar tahun
1258 M.
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah jatuh di masa Barmakiyah, Ibn Hayyan
lari ke Kuffah dan menetap di sana seraya bersembunyi dari para pendukung
Khalifah tanpa ada seorangpun dari mereka yang mengetahuinya. Jejaknya kemudian
tidak diketahui kecuali setelah dua abad kemudian dari tahun wafatnya ketika
laboratoriumnya ditemukan setelah digusurnya rumah-rumah yang terletak di
Distrik Bab, Damaskus, tempat tinggalnya. Diketahui Ibn Hayyan tutup usia pada
tahun 813 M pada usia tujuh puluh lima tahun dan dimakamkan di Kuffah.
4.
IBNU HAYTSAM (965 M / 354 H - 1039 M / 430 H)
Salah satu ilmuwan muslim yang
sangat terkenal adalah Ibnu Haytsam. Ibnu Haytsam bernama lengkap Abu Ali al
Hasan bin al Haytsam. Ibnu Haytsam dikenal dengan Alhazen di Barat. Beliau
dilahirkan di kota Basrah, Irak sekitar tahun 965 M / 354 H. Beliau dilahirkan
dan dibesarkan di tengah kondisi pemerintahan yang tidak stabil, yaitu periode
politik yang paling ricuh sepanjang sejarah dunia Islam. Di tengah kehebohan
politik, Ibnu Haytsam mempelajari bahasa Arab dan aspek keilmuan Islam
tradisional selama tahun-tahun pertama, kemudian beliau melanjutkan studinya di
Baghdad. Sejak muda, beliau menunjukkan rasa ingin tahunya dan selalu
bertanya-tanya tentang apa saja yang ada di sekelilingnya.
Di Baghdad,
Ibnu Haytsam melakukan penelitian terhadap semua cabang ilmu pengetahuan. Tidak
hanya Ibnu Haytsam, tetapi juga para ilmuwan dan cendekiawan yang lain. Hal ini
dikarenakan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Abbasiyah. Alhasil,
mereka membuka jalan munculnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana yang
kita ketahui sekarang.
Karena
kecerdasannya yang tinggi, Ibnu Haytsam cemerlang di berbagai ilmu pengetahuan
seperti matematika, astronomi, fisika, biologi, dan ilmu kedokteran. Bahkan
karena kecerdasannya pula, Ibnu Haytsam pernah ditunjuk oleh tokoh matematika
terpandang yang bernama Qaysar bin Musafir sebagai pejabat setingkat menteri di
daerah Basrah dan sekitarnya.[19]
Namun, Ibnu Haytsam sebenarnya merasa gelisah. Menurut beliau, kedudukan
sebagai pejabat pemerintah membuatnya tidak memiliki banyak waktu untuk belajar
dan belajar. Kemudian beliau menyerahkan jabatannya dan kembali meneruskan
belajarnya di Mesir yang saat itu dipimpin oleh Al Hakim (996 M – 1021 M).
Setelah cukup
lama menetap di Kairo, Mesir, para penguasa Dinasti Fathimiyah mendengar
tentang keahliannya di bidang ilmiah. Tak lama kemudian Al Hakim, penguasa
Dinasti Fathimiyah mengundang Ibnu Haytsam dan memintanya mengatasi persoalan
yang sedang dihadapi oleh Al Hakim. Waktu itu Sungai Nil sering meluap dan
menggenangi pemukiman penduduk. Kemudian Ibnu Haytsam menyusun rencana
mengendalikan luapan Sungai Nil dengan membangun sebuah konstruksi semacam
bendungan yang dapat mengurangi dampak banjir. Ternyata rancangan bendungan
tersebut persis seperti rancangan Bendungan Aswan yang modern.[20]
Namun, pengerjaan konstruksi tersebut terkendala banyak masalah yang tidak bisa
beliau pecahkan sendiri. Al Hakim merasa kesal dan marah dengan hasil kerja
Ibnu Haytsam. Kegagalan tersebut membuat perlindungan kerajaan ditarik darinya
dan sangat merugikan. Ibnu Haytsam terpaksa menjual salinan karyanya untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun, dalam sumber lain disebutkan bahwa Ibnu
Haytsam mendapatkan hukuman kurungan selama sepuluh tahun. Dalam penjara
inilah, Ibnu Haytsam diperkirakan banyak menghasilkan karya tulisnya.
Dalam bidang
astronomi, Ibnu Haytsam banyak mengkritisi astronom Yunani. Penilaian kritis
tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul The Summary of Astronomy
(Ringkasan Tentang Astronomi). Dalam buku tersebut, Ibnu Haytsam berpendapat
bahwa metode ilmiah yang digunakan oleh Ptolomeus dalam bukunya Almagest
dalam menjelaskan gerakan planet sangatlah tidak konsisten dan kurang tepat.
Pendapatnya tersebut kemudian mendapat dukungan dari ilmuwan-ilmuwan Muslim
lainnya, seperti Abu Ishaq Al Bitruji dan Abu Hasan Ali bin Al Syatir. Tak
hanya ilmuwan-ilmuwan Muslim yang mendukungnya, ilmuwan-ilmuwan Barat yang
cukup terkenal seperti Copernicus dan Kepler juga ikut terpengaruh. Hasil karyanya yang lain adalah On Twilight Phenomena. Dalam
buku tersebut beliau memperhitungkan tinggi atmosfer adalah sekitar 10 mil.[21]
Dalam disiplin
ilmu fisika, Ibnu Haytsam berkontribusi cukup luar biasa. Beliau menemukan
teori optik dan lensa mata. Beliau menjelaskan bagaimana cahaya muncul dari
sebuah benda yang bercahaya hingga memasuki mata. Beliau juga menjelaskan
secara rinci dan detail tentang bagian-bagian mata dan fungsinya. Semuanya
dijelaskan dalam karyanya yang berjudul Kitab al Manazir (Kitab Optik).
Buku yang ditulis selama sepuluh tahun tersebut memberikan pengaruh yang cukup
besar terhadap ilmuwan-ilmuwan Barat seperti Robert Grosseteste, Roger Bacon,
Witelo, Theodoric, Kepler, dan Newton.[22]
Karena keahliannya dalam pengembangan bidang optik inilah, Ibnu Haytsam disebut
sebagai Bapak Optik Modern. Selain optik, beliau juga menciptakan barometer dan
alat hampa udara.
Setelah cukup
banyak berkontribusi dalam pengetahuan, Ibnu Haytsam tutup usia pada tahun 1039
M / 430 H pada usia tujuh puluh empat tahun dan dimakamkan di Kairo. Ribuan
manusia berduyun-duyun menuju rumah beliau di Kairo. Demikianlah bila kita
menjadi orang yang berguna, orang pasti tidak akan melupakan kita.
5.
ABU HANIFAH (700 M - 767 M)
Abu Hanifah
bernama lengkap Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mah. Tetapi beliau lebih dikenal
dengan nama leluhurnya, Abu Hanifah. Beliau dilahitkan pada tahun sekitar 700 M / 80 H, sepuluh tahun setelah wafatnya
Nabi Muhammad dan beliau bertemu dengan banyak tabi’in (mereka yang pernah
bertemu, tinggal, dan bergaul dengan Sahabat Nabi). Beliau dilahirkan di
Kuffah, Irak pada masa pemerintahan khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik bin
Marwan. Beliau dibesarkan di lingkungan keluarga yang cukup mampu. Ayahnya
bernama Tsabit, seorang pengusaha sukses dan terkenal. Sama seperti ayahnya,
Abu Hanifah tumbuh menjadi seorang pengusaha yang sukses juga.
Abu Hanifah begitu sangat beruntung
bisa bertemu dengan beberapa Sahabat Nabi, seperi Anas bin Malik, Sahl bin
Sa’d, Abu Al Tufail Amir bin Jabir bin Watihiah, dan Jabir bin Abdullah. Namun,
ada beberapa cendekiawan Muslim meragukan Abu Hanifah pernah bertemu Sahabat
Rasulullah.
Abu Hanifah bisa dibilang terlambat untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam.
Beliau menghabiskan waktunya dengan berbisnis dan berdagang. Akan tetapi,
berkat ketekunan dan keseriusannya beliau akhirnya menjadi seorang ilmuwan dan
pemikir yang terkenal. Di Kuffah, beliau belajar ilmu tradisional Islam yang
melaiputi tafsir Qur’an, teologi Islam, dan fiqih pada ulama-ulama terkenal,
seperti Al Syabi, Salamah bin Kuhail, A’masy, Hammad, dan Amr bin Murrah.
Kemudian Abu Hanifah pergi ke Mekkah untuk menjalankan ibadah haji dan menetap
di sana. Di sana, beliau melanjutkan studinya kepada para ulama Mekkah dan
Madinah. Bahkan beliau terdaftar sebagai murid di sekolah milik seorang
cendekiawan terkemuka, Ata bin Abu Rabah. Dalam bidang hadis, beliau berguru
pada Ikrima, murid dari Abdullah bin Abbas – sepupu Rasulullah. Selain di
Mekkah beliau juga belajar ilmu hadis di Madinah kepada seorang ulama
terpelajar yang bernama Sulaiman.
Karena wawasannya yang luas dan kepeduliannya yang sangat besar terhadap
hukum Islam, Abu Hanifah bersama muridnya kemudian
mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqih
untuk bermusyawarah tentang hukum-hukum
Islam
dan menetapkan hukum-hukumnya
dalam bentuk tulisan sebagai perundang-undangan. Hukum inilah yang sekarang dikenal sebagai Mazhab
Hanafi, mazhab pemikiran hukum Islam yang paling banyak diikuti di dunia Islam
saat ini. Mazhab ini dipelopori oleh Abu Hanifah dan murud-muridnya, seperti
Zu’far bin Al Hudhail, Abu Yusuf Yaqub bin Ibrahim, dan Muhammad bin Al Hasan
Al Syaibani.[23] Lembaga
tersebut menghasilkan delapan puluh tiga ribu keputusan/kesimpulan dengan tiga
puluh delapan ribunya berhubungan dengan dasar hukum Islam dan empat puluh lima
ribunya berhubungan dengan peraturan duniawi.
Metode yang
digunakan Abu Hanifah dalam menetapkan hukum (istinbat)
berdasarkan pada tujuh hal pokok. Yang pertama,
menempatkan Al
Quran sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kedua, Sunnah
Rasul sebagai penjelasan terhadap hal-hal yang global
yang ada dalam Al Quran. Ketiga, fatwa sahabat (aqwal
assahabah) karena mereka semua menyaksikan
turunnya ayat dan mengetahui asbab nuzul-nya
serta asbabul khuruj-nya hadis dan
para perawinya, sedangkan
fatwa para tabi’in tidak memiliki
kedudukan sebagaimana fatwa sahabat. Keempat, qiyas (analogi) yang
digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al Quran, hadis
maupun aqwal asshabah. Kelima, istihsan yaitu keluar
atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang menyalahinya
dikarenakan tidak tepatnya qiyas atau qiyas tersebut berlawanan dengan
nash. Keenam, ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid
dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu. Ketujuh, ‘urf yaitu adat
kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nash-nya
dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.[24]
Begitu banyaknya kontribusi Abu Hanifah dalam bidang fiqih. Banyak sekali
karya-karyanya yang cukup populer, di antaranya Kitab as Salah, Kitab al
Manasik, Kitab bar Rahan, Kitab ash Shurut, Kitab al Faraid, Kitab, al Alim wal
Mutallim, Kitab al Asrar, Kitab ar Risala, Kitab al Irja’, Kitab al Wasiya,
Kitab Radd ‘alal Awzah, Kitab bar Ra’y, Kitab Ikhtilaf as Sahaba, Ikhtilaf Abi
Hanifa wa Abu Layla, Kitab al Jami’, Kitab as Siyar, Kitab al Awsat, Kitab Fiqh
al Akbar, Kitab Fiqh al Awsat, Kitab ar Radd ‘al Qadiriyya, Risala to Utsman al
Batti, dan masih ada ratusan surat dan pamflet.[25]
Di hari tuanya, Abu Hanifah dihukum penjara karena menolak jabatan Mahkamah
Agung di kerajaan Abbasiyah. Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa abu Hanifah
dipenjara dikarenakan mendukung mazhab Syi’ah yang menentang Dinasti Abbasiyah.
Abu Hanifah wafat pada tahun 767 M pada usia enam puluh tujuh tahun dan
dimakamkan di Baghdad. Untuk mengenang jasa-jasanya, seorang arsitek pada masa
Dinasti Usmani membangun mausoleum (kompleks makam yang besar dan indah)
di kota Baghdad.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
AmaLee, Irfan, dkk., Ensiklopedi Bocah Muslim, (Bandung: Dar! Mizan,
2003).
Candra, Nita, 23
Ilmuwan Besar Islam, (Solo: Tiga Ananda Creative Imprint of Tiga Serangkai,
2014).
Firmansyah, Adhe, 108 Tokoh Ilmuwan dan Penemu Dunia, (Jogjakarta: Garasi
House of Book, 2010).
Haque, M. Atiqul, 100
Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Jogjakarta: Diglossia, 2011).
Khan, Muhammad
Mojlum, 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Noura
Books Mizan Publika, 2012).
Wardhana, Eka, Ensiklopedi Anak Pintar, (Jakarta: PT. Sapta Sentosa,
2011).
Internet
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-hanafi.html. Diakses pada tanggal 19 Januari 2015 12:23.
http://blogpenemu.blogspot.com/2014/05/biografi-al-kindi-filsuf-muslim-pertama.html.
Diakses pada tanggal 19
Januari 2015 12:28.
https://mazmimujahid.wordpress.com/2010/01/03/jabir-bin-hayyan-peletak-dasar-ilmu-kimia-dan-sains-modern/. Diakses pada tanggal 21 Januari 2015 12:11.
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Musa_Jabir_bin_Hayyan. Diakses pada tanggal 21 Januari 2015 12:41.
[1] Nita Candra, 23 Ilmuwan Besar
Islam, (Solo: Tiga Ananda Creative Imprint of Tiga Serangkai, 2014), hlm.
23.
[2] http://blogpenemu.blogspot.com/2014/05/biografi-al-kindi-filsuf-muslim-pertama.html. Diakses pada
tanggal 19
Januari 2015
[4] Muhammad Mojlum Khan,
100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Noura Books
Mizan Publika, 2012), hlm. 219
[15] https://mazmimujahid.wordpress.com/2010/01/03/jabir-bin-hayyan-peletak-dasar-ilmu-kimia-dan-sains-modern/. Diakses
pada tanggal 21 Januari 2015
[17] Adhe
Firmansyah, 108 Tokoh Ilmuwan dan Penemu Dunia, (Jogjakarta: Garasi
House of Book, 2010), hlm. 240
[21] M. Atiqul
Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Jogjakarta: Diglossia,
2011), hlm. 136
[24] http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-hanafi.html.
Diakses pada tanggal 19 Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar