Kamis, 29 Januari 2015

KLASIFIKASI HADITS DARI SEGI KUANTITAS DAN PERSAMBUNGAN SANAD



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Islam mempunyai dua sumber hukum sebagai undang-undang dalam menjalani kehidupan. Sumber hukum tersebut adalah Al Qur’an dan Al Hadits. Seluruh umat Islam telah memahami bahwa hadits merupakan sumber hukum yang utama setelah Al Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak diketahui hukumnya, tidak diketahui cara mengamalkannya dalam Al Qur’an, maka hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam hadits.
Namun banyak sekali masyarakat yang terjebak dalam pemikiran yang salah ketika menghukumi atau memandang suatu amalan karena setelah dipilih dan dipilah  ternyata tidak semua hadits yang beredar merupakan hadits yang shahih, bahkan banyak yang lemah atau palsu.
Maka dari itu, sangat penting untuk mengetahui kedudukan suatu hadits agar tidak salah kaprah dalam beramal dan tidak terjerumus dalam bid’ah. Dalam makalah ini akan menjabarkan tentang klasifikasi hadits dari segi kuantitas dan persambungan sanad.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa masalah:
1.         Apa saja klasifikasi hadits ditinjau dari aspek kuantitas?
2.         Apa saja klasifikasi hadits ditinjau dari aspek persambungan sanad?
  
      C.  MANFAAT DAN TUJUAN
                    Manfaat yang dapat diambil dari makalah ini meliputi:
1.         Dapat mengetahui pembagian hadits dari aspek kuantitas.
2.         Dapat mengetahui pembagian hadits dari aspek persambungan sanad.
3.         Secara teoritis untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan pembagian hadits dari aspek kuantitas dan persambungan sanad.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  HADITS DARI ASPEK KUANTITAS
Kata hadits berasal dari bahasa Arab yang artinya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat. Berdasarkan sedikit banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, hadits terbagi menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadis ahad.
1.    Hadits Mutawatir
a.    Pengertian Hadits Mutawatir
Kata mutawatir menurut bahasa  ialah  isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya at-tatabu yang berarti berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah: “Khabar yang didasarkan pada  panca indera, yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka  bersepakat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.”
Artinya hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada panca indera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut.
Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan panca indera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Di samping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.[1]
      
b.   Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.      Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) panca indera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri, dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya.
2.      Jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin  mereka sepakat untuk berdusta.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a.    Abu  Ath-Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b.  Ashhab Asy- Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c.    Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d.   Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3.  Adanya keseimbangan  jumlah para perawi, sejak dalam thabaqah (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqah berikutnya.

c.    Klasifikasi Hadis Mutawatir
Para ulama membagi hadis mutawatir menjadi tiga,yaitu mutawatir lafdzi, mutawatir maknawi, dan  mutawatir amali.
1.    Hadis Mutawatir Lafdzi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan lainnya.
Contoh hadis mutawatir  lafdzi yang artinya:
“Rasulullah SAW, bersabda: “Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka”. (Hadis Riwayat Bukhari).
Hadits tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, bahwa hadis tersebut diriwayatkan enam puluh dua orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadits tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadis.Yaitu: Al-Bukhari Muslim,Ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi, At-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.[2]
2.    Hadis Mutawatir Ma’nawi adalah hadits yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu  riwayat dan  riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam  kaidah ilmu hadits.
Contoh hadis mutawatir ma’nawi yang artinya:
“Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam shalat Istisqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari)
3.    Hadis Mutawatir Amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat, shalat jenazah, shalat Ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan ijma.[3]

2.    Hadits Ahad
a.    Pengertian Hadits Ahad
Hadis ahad adalah hadis  yang jumlah rawinya tidak sampai pada  jumlah mutawatir; tidak memenuhi syarat mutawatir dan tidak pula  sampai pada  derajat mutawatir.
Menurut Istilah ahli hadits, hadits ahad adalah
Hadis yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadis mutawatir,baik rawinya itu seorang, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yang tidak memberi pengertian bahwa hadis itu dengan bilangan tersebut masuk kedalam hadis mutawatir.[4]
Jadi semua hadits yang diriwayatkan satu orang, dua orang atau lebih tapi tidak memenuhi syarat untuk memasukkannya kedalam katagori hadits mutawatir, maka disebut hadits Ahad.

b.   Klasifikasi Hadis Ahad
Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut hadits ahad ini dapat dibagi tiga macam, yaitu: masyhur, aziz, dan gharib.
1.    Hadis  Masyhur
Pengertian Hadis Masyhur menurut bahasa adalah muntasyir (sesuatu  yang  sudah tersebar/tersiar), sudah popular. Adapun menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih,pada setiap thabaqah, tidak mencapai derajat mutawatir.
Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur  dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu: hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat hadist mutawatir. Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadits mutawatir .
Contoh hadist masyhur adalah hadist berikut ini:Yang artinya: “Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi)
Hadist di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
2.    Hadis Aziz
Aziz menurut bahasa adalah Asy-Safief(yang mulia),An-Nadir(yang sedikit wujudnya),Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa’slsih(yang sukar diperoleh)dan Al-Qawiyu (yang kuat). Menurut istilah adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang,walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja,kemudian orang-orang meriwayatkannya.[5]
Contoh hadist aziz adalah hadist berikut ini yang artinya:
“Rasulullah SAW bersabda: “Kami adalah orang-orang terakhir di dunia dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)
Hudzaifah dan Abu Hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz.
3.    Hadis Gharib
a.    Pengertian
Gharib menurut bahasa adalah (1) ba’idun’anil wathani (yang jauh dari tanah), (2) kalimat yang sukar dipahami. Menurut istilah hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi atau hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendiriannya itu terjadi.
Contoh hadis gharib yang artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a.dari Nabi SAW telah bersabda,”Iman itu bercabang-cabang menjadi 60 cabang dan malu itu salah satu cabang dari iman”. (HR. Bukhari)
b.    Klasifikasi Hadis Gharib
Ditinjau dari segi bentuk penyendian rawi,hadis gharib terbagi pada dua macam,yaitu gharib muthlaq dan gharib nisby.
1.    Gharib muthlaq adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadis itu.Penyendirian rawi hadis gharib muthlaq itu terpangkal pada tempat ashlus sanad, yakni tabiin bukan sahabat
2.    Gharib nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu  dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan antara lain:
* sifat keadilan dan ke-dhabit-an (ke-tsiqat-an) rawi
* kota atau tempat tinggal tertentu
* meriwayatkannya dari orang tertentu
Apabila penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya apakah terletak di sanad / matan, hadits gharib terbagi lagi menjadi tiga bagian,yaitu:
* Gharib pada sanad dan matan
* Gharib pada sanadnya saja
* Gharib pada sebagian matanya.
c. Cara untuk menetapkan ke-gharib-an hadits
Untuk menetapkan suatu hadis itu gharib, hendaklah periksa dulu kitab-kitab hadis, seperti kitab fami’ dan kitab musnad, apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid. Cara tersebut dinamakan i’tibar.

c.    Kedudukan Hadis Ahad dan pendapat Ulama tentang Hadis Ahad
Para ahli hadis berbeda pendapat tentang kedudukan hadis ahad. Pendapat tersebut antara lain:
1.    Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani, sebagian ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2.    Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihanya.
3.    Sebagian ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4.    Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari hukum-hukum  Al-Qur’an.

B.  ASPEK PERSAMBUNGAN SANAD
Sanad merupakan tonggak utama dalam penelitian hadits, terutama untuk melihat bersambung dan terputusnya sanad. Lima syarat hadits maqbul tiga diantaranya berkaitan dengan sanad. Begitu pentingnya hingga banyak ulama menekankan pembahasan masalah ini.
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, “Sanad adalah senjata orang mukmin, seandainya ia tidak bersenjata lalu dengan apa dia akan berperang?” Abdullah bin Mubarak berkata, “Sanad adalah bagian dari agama, kalau bukan karena sanad niscaya banyak orang akan berkata seenaknya.”
Seperti disinggung di atas, melihat begitu mendasarnya masalah sanad ini, hingga banyak sekali para ulama hadits yang memberikan konsentrasi lebih dalam penelitian sanad, bahkan tidak sedikit dari mereka yang rela untuk mengadakan perjalanan jauh semata untuk mengetahui hakekat ketersambungan sanad.
Penelitian dan kritik seputar matan juga tidak akan maksimal tanpa dibarengi dengan penelitian seputar sanad. Ibaratnya, bagaimana orang akan naik ke atap jika tidak menggunakan tangga. Sanad adalah tangga atau jalan yang menyampaikan kita pada matan atau teks hadits. Oleh sebab itu, para ulama mendefinisikan sanad dengan:  ا لطريق ا لمو صل ا لى المتن yang artinya jalan yang menyampaikan kita pada matan atau teks hadits”. Sanad sendiri secara harfiah berarti sandaran. Dinamakan demikian karena para peneliti hadits saat meneliti banyak bersandar pada sanad.
Macam-macam pembagian hadits ditinjau dari sanadnya ada beberapa macam. Ada yang berkaitan dengan sedikit banyaknya sanad dan ada pula yang berkaitan dengan bersambung dan terputusnya sanad. Namun, pembahasan kita kali ini lebih pada poin kedua yaitu pembagian hadits ditinjau dari bersambung dan terputusnya sanad.
Dari aspek ini, hadits terbagi menjadi dua muttashil dam munqathi’. Untuk muttashil sendiri, ada beberapa hadits yang digolongkan dalam bagian ini. Namun, sesungguhnya penggolongan bagian-bagian itu lebih dikarenakan faktor atau sifat lain yang menempel pada sanad hadits tersebut. Untuk lebih jelasnya, kita bahas pembagian dan definisi hadits-hadits tersebut.
 
1.      Hadits Muttashil
Muttashil menurut bahasa artinya sambung, bersambung. Sedangkan menurut istilah hadits muttasil adalah hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung dari awal hingga akhir  sanad. Yang dimaksud dengan bersambung adalah tiap perawi mendengar hadits tersebut dari orang yang ada diatasnya demikian hingga berakhirnya sanad. Dengan demikian hadits yang terdapat ketidakbersambungan pada sanadnya tidak dapat dikategorikan sebagai hadits muttashil. Hadits muttasil disebut juga hadits mausul.
Dalam definisi di atas yang perlu digarisbawahi adalah kata “hingga akhir sanad”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa hadits muttashil bisa marfu’ bisa juga mauquf bahkan juga maqthu’.
Jika sanadnya berakhir pada nabi maka dinamakan hadits marfu’. Contoh hadits marfu’ adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik, dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:


http://blog.uin-malang.ac.id/rantingkering/files/2010/09/2-300x33.jpg
 


Artinya: “Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya”.
Jika berakhir pada pada sahabat maka dinamakan hadits mauquf. Contoh hadits mauquf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:


http://blog.uin-malang.ac.id/rantingkering/files/2010/09/3.jpg
 


Artinya: “Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya.”
Adapun hadits maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi’in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadits maqtu termasuk jenis hadits muttasil, tetapi jumhur mudaddisin berkata, “Hadits maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadits mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan “Hadits ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya“. Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi’in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadits maqtu’ adalah lawan Hadits mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi’in.

2.         Hadits Munqathi’
Kata munqathi’ berasal dari kata al-inqitha’ (terputus) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqitha’ merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqitha’ adalah lawan kata ittisal (bersambung). Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Secara terminologi, hadits munqati’ adalah setiap hadits yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW maupun disandarkan kepada yang lain. Abdul Bar membagi menjadi tiga dan pendapat ini diikuti oleh Imam Nawawi, yaitu muallaq, mu’dhal, dan mursal.
1.    Hadits mu’allaq
Secara etimologi, berasal dari kata ‘allaqa yang berarti menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga ia tergantung.[6]
Secara istilah, hadits muallaq yaitu hadits yang terputus di awal sanadnya dari jajaran perawi. Baik terputusnya lebih dari satu tempat atau gugur lebih dari satu perawi asalkan terputusnya terdapat di awal sanad masih dapat dikatakan muallaq.
Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada Mukaddimah bab mengenai menutupi paha:
وقال أبو موسى غطّى النّبيّ ركبتيه حين دخل عثمان
Artinya: “Berkata Abu Musa, “Rasulullah SAW menutupi kedua lutut beliau ketika Utsman masuk.”
Hadits tersebut adalah hadits mu’allaq karena Bukhari menghapus seluruh sanadnya, kecuali Sahabat, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari.
Hukum hadits mu’allaq adalah mardud (tertolak), karena tidak terpenuhinya salah satu syarat Qabul, yaitu persambungan sanad yang dalam hal ini adalah dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari sanadnya, sementara keadaan perawi yang dihapuskan tersebut tidak diketahui.
 
2.    Hadits mu’dhal
   Secara etimologi, mu’dhal berasal dari kata a’dhala yang berarti menjadikan sesuatu menjadi problematik. Sedangkan secara terminologi, hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dari sanadnya dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut.[7]
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa hadits mu’dhal adalah setiap hadits yang gugur dua orang perawi atau lebih dari sanadnya secara berturut-turut, baik itu terjadi di awal, di pertengahan, atau di akhir sanad.
Contoh hadits mu’dhal adalah:
“Telah menceritakan kepadaku Malik, bahwasanya telah sampai kepadanya berita bahwa Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW bersabda, ‘Hak bagi hamba adalah makanannya dan pakaiannya secara baik (ma’ruf).”
Hadits di atas adalah mu’dhal karena gugur dua orang perawinya secara berturut-turut, yaitu antara Malik dan Abu Hurairah. Hal ini diketahui melalui periwayatan hadits tersebut di dalam kitab lain selain Al Muwaththa’. Urutan perawi yang seharusnya adalah:
“... Dari Malik dari Muhammad ibn ‘Ajlan dari ayahnya dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasul SAW bersabda ...”
Hukum hadits ini adalah dhai’f, bahkan keadaannya lebih buruk dari hadits mursal, karena perawinya yang gugur di dalam sanadnya lebih banyak.

3.    Hadits mursal
Secara etimologi, kata mursal berasal dari kata arsala yang artinya melepaskan atau membebaskan. Dalam hal ini melepaskan isnad dan tidak menghubungkannya dengan seorang perawi yang dikenal.
Sedangkan secara terminologi, hadits mursal yaitu hadits yang diangkatkan oleh tabi’in kepada Rasul SAW dari perkataan atau perbuatan atau taqrir beliau, baik tabi’in itu tabi’in kecil atau tabi’in besar.[8]
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa seorang tabi’in mengatakan Rasulullah SAW berkata demikian atau berbuat demikian dan sebagainya, sementara tabi’in tersebut jelas tidak bertemu dengan Rasul SAW. Jadi, dalam hal ini tabi’in tersebut telah menghilangkan Sahabat sebagai generasi perantara antara tabi’in dengan Rasul SAW.
Contoh hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitab Shahihnya pada bagian Jual Beli (Kitab al Buyu’):
حدّثني محمّد بن رافع ثنا حجين ثنا الليث عن عقيل عن بن شهاب عن سعيد بن المسيب أن رسول الله ص
.م نهى عن المزابنة
Artinya: “Dia berkata,”Telah menceritakan kepadaku Muhammad ibn Rafi’, telah menceritakan kepada kami Hujjain, telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari ‘Uqail dari Ibn Syihab dari Sa’id ibn al-Musayyab, bahwa Rasulullah SAW melarang menjual buah kurma yang masih berada di pohon dengan kurma yang sudah dikeringkan.”
Said ibn al-Musayyab adalah seorang tabi’in besar. Dia meriwayatkan hadits ini dari Nabi SAW tanpa menyebutkan perawi perantara antara dirinya dengan Nabi SAW. Dalam hal ini Ibn al-Musayyab telah menggugurkan akhir sanadnya yaitu Sahabat. Minimal yang telah digugurkannya adalah seorang Sahabat, dan bisa jadi yang digugurkannya selain Sahabat adalagi yang lain, seperti seorang tabi’in yang lain.
Hukum hadits mursal pada dasarnya adalah dha’if dan mardud (ditolak). Hal tersebut karena kurangnya (hilangnya salah satu syarat ke-shahih-an dan syarat diterimanya suatu hadits yaitu persambungan sanad.











 
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ditinjau dari aspek kuantitas, hadits terbagi menjadi dua yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir sendiri terbagi menjadi tiga yaitu mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, dan mutawatir amali. Hadits ahad sendiri juga terbagi menjadi tiga yaitu hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits gharib. Kemudian hadits gharib juga terbagi menjadi tiga yaitu muthlaq dan nisbi.
Ditinjau dari aspek persambungan sanad, hadits terbagi menjadi dua yaitu hadits muttashil dan hadits munqathi’. Hadits muttashil sendiri terbagi menjadi tiga yaitu marfu’, mauquf, dan maqthu’. Sedangkan hadits munqathi’ terbagi menjadi tiga yaitu mu’allaq, mu’dhal, dan mursal.



 
 

DAFTAR PUSTAKA

M. Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2011).
Yuslem, Nawir., Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001).
‘Ajjaj al-‘athib, Ushul al-Hadits


[1] M. Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 129

[2] Ibid, hal. 131
[3] Ibid, hal. 132
[4] Ibid, hal.134
[5] Ibid, hal. 136
[6] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), hal. 238
[7] Ibid, hal. 246
[8] ‘Ajjaj al-‘athib, Ushul al-Hadits, hal. 337