BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Islam
mempunyai dua sumber hukum sebagai undang-undang dalam menjalani kehidupan.
Sumber hukum tersebut adalah Al Qur’an dan Al Hadits. Seluruh umat Islam telah
memahami bahwa hadits merupakan sumber hukum yang utama setelah Al Qur’an.
Tingkah laku manusia yang tidak diketahui hukumnya, tidak diketahui cara
mengamalkannya dalam Al Qur’an, maka hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam
hadits.
Namun
banyak sekali masyarakat yang terjebak dalam pemikiran yang salah ketika
menghukumi atau memandang suatu amalan karena setelah dipilih dan dipilah ternyata tidak semua hadits yang beredar
merupakan hadits yang shahih, bahkan banyak yang lemah atau palsu.
Maka
dari itu, sangat penting untuk mengetahui kedudukan suatu hadits agar tidak
salah kaprah dalam beramal dan tidak terjerumus dalam bid’ah. Dalam makalah ini
akan menjabarkan tentang klasifikasi hadits dari segi kuantitas dan
persambungan sanad.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di
atas dapat dirumuskan beberapa masalah:
1.
Apa
saja klasifikasi hadits ditinjau dari aspek kuantitas?
2.
Apa
saja klasifikasi hadits ditinjau dari aspek persambungan sanad?
C. MANFAAT DAN TUJUAN
Manfaat
yang dapat diambil dari makalah ini meliputi:
1.
Dapat
mengetahui pembagian hadits dari aspek kuantitas.
2.
Dapat
mengetahui pembagian hadits dari aspek persambungan sanad.
3.
Secara
teoritis untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk mendeskripsikan pembagian hadits dari aspek kuantitas dan persambungan
sanad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HADITS DARI ASPEK
KUANTITAS
Kata hadits
berasal dari bahasa Arab yang artinya segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat. Berdasarkan sedikit
banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, hadits terbagi menjadi dua macam,
yaitu hadits mutawatir dan hadis ahad.
1.
Hadits
Mutawatir
a.
Pengertian Hadits Mutawatir
Kata mutawatir menurut
bahasa ialah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya at-tatabu
yang berarti berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah: “Khabar yang didasarkan pada panca indera, yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.”
Sedangkan menurut istilah ialah: “Khabar yang didasarkan pada panca indera, yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.”
Artinya
hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang
dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada
setiap tingkatan.
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu
segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada panca indera,
seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang
tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka
berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu
perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits
itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang
yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran
hadits tersebut.
Dalam sejarah para perawi diketahui
bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau
mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan panca indera,
misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Di samping itu, dapat
diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan
demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi
itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara
mutawatir.[1]
b.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan
mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut
harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) panca indera. Artinya bahwa berita
yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan
sendiri, dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya.
2.
Jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga
tidak mungkin mereka sepakat untuk
berdusta.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan
jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Ath-Thayib menentukan
sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang
diperlukan oleh hakim.
b. Ashhab Asy- Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c.
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal
tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang
mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200
orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d.
Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut
sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Adanya keseimbangan
jumlah para perawi, sejak dalam thabaqah (lapisan/tingkatan) pertama
maupun thabaqah berikutnya.
c.
Klasifikasi Hadis Mutawatir
Para
ulama membagi hadis mutawatir menjadi tiga,yaitu mutawatir lafdzi, mutawatir
maknawi, dan mutawatir amali.
1. Hadis Mutawatir Lafdzi adalah hadis
yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai
benar antara riwayat yang satu dan lainnya.
Contoh
hadis mutawatir lafdzi yang artinya:
“Rasulullah SAW,
bersabda: “Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia
menduduki tempat duduknya dalam neraka”. (Hadis Riwayat Bukhari).
Hadits
tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh
orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, bahwa hadis tersebut
diriwayatkan enam puluh dua orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadits
tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadis.Yaitu: Al-Bukhari Muslim,Ad-Darimi, Abu
Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi, At-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Thabrani, dan
Al-Hakim.[2]
2. Hadis Mutawatir Ma’nawi adalah hadits yang lafazh dan maknanya
berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian
makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits.
Contoh hadis mutawatir ma’nawi yang artinya:
“Nabi SAW tidak
mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam shalat Istisqa,
dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya.”
(HR. Bukhari)
3. Hadis
Mutawatir Amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat,
shalat jenazah, shalat Ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat dan
segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan ijma.[3]
2.
Hadits
Ahad
a.
Pengertian
Hadits Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir; tidak memenuhi syarat
mutawatir dan tidak pula sampai
pada derajat mutawatir.
Menurut Istilah ahli hadits, hadits ahad adalah
“Hadis
yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadis mutawatir,baik rawinya itu
seorang, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yang
tidak memberi pengertian bahwa hadis itu dengan bilangan tersebut masuk kedalam
hadis mutawatir.[4]
Jadi semua
hadits yang diriwayatkan satu orang, dua orang atau lebih tapi tidak memenuhi
syarat untuk memasukkannya kedalam katagori hadits mutawatir, maka disebut
hadits Ahad.
b.
Klasifikasi
Hadis Ahad
Berdasarkan
jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut hadits ahad ini dapat dibagi
tiga macam, yaitu: masyhur, aziz, dan gharib.
1.
Hadis
Masyhur
Pengertian Hadis Masyhur menurut bahasa adalah
muntasyir (sesuatu yang sudah tersebar/tersiar), sudah popular. Adapun
menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih,pada
setiap thabaqah, tidak mencapai derajat mutawatir.
Atas dasar kesamaan dalam
pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu:
hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai
derajat hadist mutawatir. Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist
masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang,
dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadits
mutawatir .
Contoh hadist masyhur adalah hadist berikut ini:Yang artinya: “Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum
Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari,
Muslim, dan Turmudzi)
Hadist di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi)
sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah
Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi
dalam setiap tingkatan.
2.
Hadis Aziz
Aziz menurut bahasa adalah Asy-Safief(yang
mulia),An-Nadir(yang sedikit wujudnya),Ash-Shab’bul ladzi yakadu la
yuqwa’slsih(yang sukar diperoleh)dan Al-Qawiyu (yang kuat). Menurut istilah
adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang,walaupun dua orang rawi tersebut
terdapat pada satu thabaqah saja,kemudian orang-orang meriwayatkannya.[5]
Contoh hadist aziz adalah hadist berikut ini yang artinya:
“Rasulullah SAW bersabda: “Kami adalah orang-orang terakhir di dunia dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)
“Rasulullah SAW bersabda: “Kami adalah orang-orang terakhir di dunia dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)
Hudzaifah dan Abu Hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut
adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu
diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja
dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu
termasuk hadist ‘aziz.
3.
Hadis Gharib
a.
Pengertian
Gharib menurut bahasa adalah (1) ba’idun’anil
wathani (yang jauh dari tanah), (2) kalimat yang sukar dipahami. Menurut
istilah hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi atau
hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan,
di mana saja penyendiriannya itu terjadi.
Contoh hadis
gharib yang artinya:
“Dari Abu
Hurairah r.a.dari Nabi SAW telah bersabda,”Iman itu bercabang-cabang menjadi 60
cabang dan malu itu salah satu cabang dari iman”. (HR. Bukhari)
b.
Klasifikasi
Hadis Gharib
Ditinjau
dari segi bentuk penyendian rawi,hadis gharib terbagi pada dua macam,yaitu
gharib muthlaq dan gharib nisby.
1.
Gharib muthlaq adalah hadis yang rawinya
menyendiri dalam meriwayatkan hadis itu.Penyendirian rawi hadis gharib muthlaq
itu terpangkal pada tempat ashlus sanad, yakni tabiin bukan sahabat
2.
Gharib nisby adalah apabila penyendirian itu
mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi
mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu
dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan antara lain:
* sifat keadilan dan ke-dhabit-an
(ke-tsiqat-an) rawi
* kota atau tempat tinggal tertentu
* meriwayatkannya dari orang tertentu
Apabila
penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya apakah terletak di sanad / matan, hadits
gharib terbagi lagi menjadi tiga bagian,yaitu:
* Gharib pada
sanad dan matan
* Gharib pada
sanadnya saja
* Gharib pada
sebagian matanya.
c.
Cara untuk menetapkan ke-gharib-an hadits
Untuk
menetapkan suatu hadis itu gharib, hendaklah periksa dulu kitab-kitab hadis, seperti
kitab fami’ dan kitab musnad, apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang
menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid. Cara tersebut
dinamakan i’tibar.
c.
Kedudukan Hadis Ahad dan pendapat Ulama tentang
Hadis Ahad
Para ahli hadis berbeda pendapat tentang
kedudukan hadis ahad. Pendapat tersebut antara lain:
1.
Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani, sebagian
ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal
dengan hadis ahad.
2.
Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad wajib
diamalkan sesudah diakui kesahihanya.
3.
Sebagian
ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak
dapat menghapuskan suatu hukum dari hukum-hukum
Al-Qur’an.
B. ASPEK
PERSAMBUNGAN SANAD
Sanad
merupakan tonggak utama dalam penelitian hadits, terutama untuk melihat
bersambung dan terputusnya sanad. Lima syarat hadits maqbul tiga diantaranya
berkaitan dengan sanad. Begitu pentingnya hingga banyak ulama menekankan
pembahasan masalah ini.
Sufyan
Ats-Tsauri mengatakan, “Sanad adalah senjata orang mukmin, seandainya ia tidak
bersenjata lalu dengan apa dia akan berperang?” Abdullah bin Mubarak berkata,
“Sanad adalah bagian dari agama, kalau bukan karena sanad niscaya banyak orang
akan berkata seenaknya.”
Seperti
disinggung di atas, melihat begitu mendasarnya masalah sanad ini, hingga banyak
sekali para ulama hadits yang memberikan konsentrasi lebih dalam penelitian
sanad, bahkan tidak sedikit dari mereka yang rela untuk mengadakan perjalanan
jauh semata untuk mengetahui hakekat ketersambungan sanad.
Penelitian
dan kritik seputar matan juga tidak akan maksimal tanpa dibarengi dengan
penelitian seputar sanad. Ibaratnya, bagaimana orang akan naik ke atap jika
tidak menggunakan tangga. Sanad adalah tangga atau jalan yang menyampaikan kita
pada matan atau teks hadits. Oleh sebab itu, para ulama mendefinisikan sanad dengan:
ا لطريق ا لمو صل ا لى المتن yang artinya jalan yang menyampaikan
kita pada matan atau teks hadits”. Sanad sendiri secara harfiah berarti
sandaran. Dinamakan demikian karena para peneliti hadits saat meneliti banyak
bersandar pada sanad.
Macam-macam
pembagian hadits ditinjau dari sanadnya ada beberapa macam. Ada yang berkaitan
dengan sedikit banyaknya sanad dan ada pula yang berkaitan dengan bersambung
dan terputusnya sanad. Namun, pembahasan kita kali ini lebih pada poin kedua
yaitu pembagian hadits ditinjau dari bersambung dan terputusnya sanad.
Dari
aspek ini, hadits terbagi menjadi dua muttashil dam munqathi’. Untuk muttashil
sendiri, ada beberapa hadits yang digolongkan dalam bagian ini. Namun,
sesungguhnya penggolongan bagian-bagian itu lebih dikarenakan faktor atau sifat
lain yang menempel pada sanad hadits tersebut. Untuk lebih jelasnya, kita bahas
pembagian dan definisi hadits-hadits tersebut.
1.
Hadits
Muttashil
Muttashil
menurut bahasa artinya sambung, bersambung. Sedangkan menurut istilah hadits
muttasil adalah hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung dari awal
hingga akhir sanad. Yang dimaksud dengan bersambung adalah tiap perawi
mendengar hadits tersebut dari orang yang ada diatasnya demikian hingga
berakhirnya sanad. Dengan demikian hadits yang terdapat ketidakbersambungan
pada sanadnya tidak dapat dikategorikan sebagai hadits muttashil. Hadits
muttasil disebut juga hadits mausul.
Dalam
definisi di atas yang perlu digarisbawahi adalah kata “hingga akhir sanad”.
Ungkapan ini menunjukkan bahwa hadits muttashil bisa marfu’ bisa juga mauquf
bahkan juga maqthu’.
Jika
sanadnya berakhir pada nabi maka dinamakan hadits marfu’. Contoh hadits
marfu’ adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik, dari Nafi’ dari Abdullah
bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
![]() |
Artinya: “Orang
yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada
keluarga dan hartanya”.
Jika
berakhir pada pada sahabat maka dinamakan hadits mauquf. Contoh hadits
mauquf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ bahwa ia
mendengar Abdullah bin Umar berkata:
![]() |
Artinya:
“Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat
lain kecuali keharusan membayarnya.”
Adapun hadits maqtu yakni hadis yang
disandarkan kepada tabi’in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan
bahwa hadits maqtu termasuk jenis hadits muttasil, tetapi jumhur mudaddisin
berkata, “Hadits maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara
mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadits
mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan “Hadits ini
bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya“. Sebagian ulama
membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil
secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di
atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal
pada tabi’in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadits maqtu’
adalah lawan Hadits mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan
menyadarkannya kepada tabi’in.
2.
Hadits
Munqathi’
Kata munqathi’ berasal dari kata al-inqitha’ (terputus)
yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqitha’ merupakan
akibatnya, yakni terputus. Kata inqitha’ adalah lawan kata ittisal (bersambung).
Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad.
Secara terminologi, hadits munqati’ adalah setiap hadits yang tidak bersambung
sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW maupun disandarkan
kepada yang lain. Abdul Bar membagi menjadi tiga dan pendapat ini diikuti oleh
Imam Nawawi, yaitu muallaq, mu’dhal, dan mursal.
1. Hadits mu’allaq
Secara etimologi, berasal dari kata ‘allaqa
yang berarti menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga ia
tergantung.[6]
Secara istilah, hadits muallaq yaitu hadits yang
terputus di awal sanadnya dari jajaran perawi. Baik terputusnya lebih dari satu
tempat atau gugur lebih dari satu perawi asalkan terputusnya terdapat di awal
sanad masih dapat dikatakan muallaq.
Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari pada Mukaddimah bab mengenai menutupi paha:
وقال أبو موسى غطّى النّبيّ ركبتيه
حين دخل عثمان
Artinya: “Berkata Abu Musa, “Rasulullah SAW menutupi kedua lutut
beliau ketika Utsman masuk.”
Hadits tersebut adalah hadits mu’allaq karena
Bukhari menghapus seluruh sanadnya, kecuali Sahabat, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari.
Hukum hadits mu’allaq adalah mardud (tertolak),
karena tidak terpenuhinya salah satu syarat Qabul, yaitu persambungan sanad
yang dalam hal ini adalah dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari
sanadnya, sementara keadaan perawi yang dihapuskan tersebut tidak diketahui.
2. Hadits mu’dhal
Secara etimologi, mu’dhal berasal dari kata a’dhala
yang berarti menjadikan sesuatu menjadi problematik. Sedangkan secara
terminologi, hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dari sanadnya dua orang
perawi atau lebih secara berturut-turut.[7]
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa hadits
mu’dhal adalah setiap hadits yang gugur dua orang perawi atau lebih dari
sanadnya secara berturut-turut, baik itu terjadi di awal, di pertengahan, atau
di akhir sanad.
Contoh hadits mu’dhal adalah:
“Telah menceritakan kepadaku Malik, bahwasanya telah
sampai kepadanya berita bahwa Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW bersabda,
‘Hak bagi hamba adalah makanannya dan pakaiannya secara baik (ma’ruf).”
Hadits di atas adalah mu’dhal karena gugur dua orang
perawinya secara berturut-turut, yaitu antara Malik dan Abu Hurairah. Hal ini
diketahui melalui periwayatan hadits tersebut di dalam kitab lain selain Al
Muwaththa’. Urutan perawi yang seharusnya adalah:
“... Dari Malik dari Muhammad ibn ‘Ajlan dari
ayahnya dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasul SAW bersabda ...”
Hukum hadits ini adalah dhai’f, bahkan keadaannya lebih
buruk dari hadits mursal, karena perawinya yang gugur di dalam sanadnya lebih
banyak.
3. Hadits mursal
Secara
etimologi, kata mursal berasal dari kata arsala yang artinya melepaskan atau
membebaskan. Dalam hal ini melepaskan isnad dan tidak menghubungkannya dengan
seorang perawi yang dikenal.
Sedangkan
secara terminologi, hadits mursal yaitu hadits yang diangkatkan oleh tabi’in
kepada Rasul SAW dari perkataan atau perbuatan atau taqrir beliau, baik tabi’in
itu tabi’in kecil atau tabi’in besar.[8]
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa seorang
tabi’in mengatakan Rasulullah SAW berkata demikian atau berbuat demikian dan sebagainya,
sementara tabi’in tersebut jelas tidak bertemu dengan Rasul SAW. Jadi, dalam
hal ini tabi’in tersebut telah menghilangkan Sahabat sebagai generasi perantara
antara tabi’in dengan Rasul SAW.
Contoh hadits
mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitab Shahihnya
pada bagian Jual Beli (Kitab al Buyu’):
حدّثني
محمّد بن رافع ثنا حجين ثنا الليث عن عقيل عن بن شهاب عن سعيد بن المسيب أن رسول
الله ص
.م نهى عن المزابنة
.م نهى عن المزابنة
Artinya: “Dia
berkata,”Telah menceritakan kepadaku Muhammad ibn Rafi’, telah menceritakan
kepada kami Hujjain, telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari ‘Uqail dari
Ibn Syihab dari Sa’id ibn al-Musayyab, bahwa Rasulullah SAW melarang menjual
buah kurma yang masih berada di pohon dengan kurma yang sudah dikeringkan.”
Said ibn al-Musayyab adalah seorang tabi’in besar.
Dia meriwayatkan hadits ini dari Nabi SAW tanpa menyebutkan perawi perantara
antara dirinya dengan Nabi SAW. Dalam hal ini Ibn al-Musayyab telah
menggugurkan akhir sanadnya yaitu Sahabat. Minimal yang telah digugurkannya
adalah seorang Sahabat, dan bisa jadi yang digugurkannya selain Sahabat adalagi
yang lain, seperti seorang tabi’in yang lain.
Hukum hadits mursal pada dasarnya adalah dha’if dan
mardud (ditolak). Hal tersebut karena kurangnya (hilangnya salah satu syarat
ke-shahih-an dan syarat diterimanya suatu hadits yaitu persambungan sanad.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ditinjau dari aspek
kuantitas, hadits terbagi menjadi dua yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
Hadits mutawatir sendiri terbagi menjadi tiga yaitu mutawatir lafdzi, mutawatir
ma’nawi, dan mutawatir amali. Hadits ahad sendiri juga terbagi menjadi tiga
yaitu hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits gharib. Kemudian hadits gharib
juga terbagi menjadi tiga yaitu muthlaq dan nisbi.
Ditinjau dari aspek
persambungan sanad, hadits terbagi menjadi dua yaitu hadits muttashil dan hadits
munqathi’. Hadits muttashil sendiri terbagi menjadi tiga yaitu marfu’, mauquf,
dan maqthu’. Sedangkan hadits munqathi’ terbagi menjadi tiga yaitu mu’allaq,
mu’dhal, dan mursal.
|
DAFTAR PUSTAKA
M.
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2011).
Yuslem, Nawir., Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001).
‘Ajjaj al-‘athib, Ushul al-Hadits
Yuslem, Nawir., Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001).
‘Ajjaj al-‘athib, Ushul al-Hadits